nIiiIH........!!! tRiMa TiiNjuUuUu Gw

Entri Populer

Salah satu dari sekian banyak keyakinan kaum Syi’ah yang sangat bertentangan dengan nash-nash yang sharih dan Ijma’, ialah adanya keyakinan di kalangan mereka tentang bolehnya nikah mut’ah, atau disebut dengan istilah kawin kontrak. Nikah mut’ah (kawin kontrak) ini biasa dilakukan oleh kaum Syi’ah. Mereka melakukannya tanpa ada beban, karena memang sudah menjadi salah satu bagian dari pokok-pokok keyakinan mereka sebagaimana disebutkan di dalam kitab-kitab Syi’ah.

Berikut inilah beberapa pandangan aneh dari kalangan tokoh-tokoh kaum Syi’ah tentang nikah mut’ah. Tentu, pandangan-pandangan ini sarat kedustaan.
Pertama : Nikah mut’ah merupakan salah satu dasar keimanan kaum Syi’ah.
Ja’far Shadiq berkata: “Barang siapa yang tidak mempercayai tentang Raj’ah (kebangkitan manusia dari kubur sebelum hari Kiamat) dan tidak menghalalkan mut’ah maka bukan termasuk golongan kami”.[1]
Kedua : Nikah mut’ah, konon sebagai pengganti dari minuman yang memabukkan.
Dari Muhammad bin Aslam dari Abu Ja’far berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha lemah lembut. Dia telah menjadikan mut’ah sebagai pengganti dari semua minuman yang memabukkan”. [2]
Ketiga : Ancaman yang keras bagi seseorang yang meninggalkan nikah mut’ah.
Kaum Syi’ah mengatakan, barang siapa yang keluar dari dunia (meninggal) dan tidak melakukan mut’ah maka dia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan hidungnya terpotong.[3]
Keempat : Seseorang yang melakukan nikah mut’ah maka akan mendapatkan pahala yang besar.
Ini tentu merupakan keyakinan aneh dan menyesatkan. Sehingga mereka memiliki keyakinan bahwa seseorang yang melakukan nikah mut’ah sebanyak empat kali maka derajatnya sejajar dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menisbatkan perkataan dusta ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menuturkan: “Barang siapa yang nikah mut’ah satu kali maka derajatnya seperti Husain. Barang siapa yang nikah mut’ah dua kali, derajatnya seperti hasan. Barang siapa yang nikah mut’ah tiga kali, derajatnya seperti ‘Ali. Dan barang siapa yang melakukannya empat kali maka derajatnya sama dengan Rasulullah”. Sungguh anggapan ini merupakan suatu kedustaan besar atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[4]
Kelima : Boleh melakukan nikah mut’ah dengan para gadis tanpa izin dari walinya.
Dari Ziad bin Abi Halal: Aku mendengar Abu ‘Abdillah berkata: “Tidak mengapa seseorang melakukan mut’ah dengan seorang gadis selama tidak menghamilinya karena ditakutkan munculnya aib yang akan menimpa keluarganya”.[5]
Keenam : Tidak ada satu madzhab pun yang membolehkan menikahi istri orang lain secara mut’ah kecuali madzhab Mazdakiyyah yang menghalalkan praktek seks bebas. Demikian pula dengan kaum Syi’ah, mereka membolehkannya.
Diceritakan dari Yunus bin ‘Abdurrahman, ia bertanya kepada ar-Ridha: ”Seorang wanita telah dinikahi secara mut’ah kemudian habis masa kontraknya, bolehkah laki-laki lain bermut’ah dengannya sebelum habis ‘iddahnya?” Dia menjawab: “Tidak mengapa melakukannya, karena dosanya ditanggung oleh wanita tersebut”.[6]
Fadhl, salah seorang budak Muhammad bin Rasyid bertanya kepada Abu ‘Abdilah: ”Sesungguhnya aku telah menikahi seorang wanita secara mut’ah. Aku merasa ia telah bersuami. Setelah aku berusaha mencari tahu, ternyata benar wanita itu memiliki suami. Apa yang harus aku lakukan?” Dia menjawab: ”Mengapa engkau mencari tahu tentang keadaan dirinya?” [7]
Ketujuh : Bolehnya bermut’ah dengan wanita pelacur.
Dari Ishaq bin Jarir, ia berkata: Aku bertanya kepada Abu Abdillah: “Sesungguhnya di kota Kufah ada seorang wanita pelacur. Bolehkah aku menikahinya dengan cara mut’ah?”
Dia balik bertannya: “Apakah bendera telah diangkat?”
Aku jawab: “Belum, karena kalau diangkat dia akan diambil oleh penguasa”.
Dia menjawab: “Nikahilah dia dengan mut’ah,” kemudian ia berbisik kepada salah satu budaknya sehingga aku dekati budak tersebut dan aku tanyakan: “Apa yang telah ia katakan?”
Budak itu menjawab: ”Sesungguhnya dia mengatakan, ‘Seandainya bendera telah diangkat maka tidak ada dosa untuk menikahinya, karena sesungguhnya hal tersebut telah mengeluarkannya dari yang haram kepada yang halal’.”
Dari Hasan bin Dharif berkata: ”Aku telah mengirim surat kepada Abu Muhammad menceritakan keadaanku yang telah meninggalkan mut’ah selama bertahun-tahun, kemudian aku kembali bersemangat untuk melakukannya. Aku mendengar ada seorang wanita cantik di salah satu desa yang telah menggugah hasratku untuk melakukan mut’ah, apalagi ia adalah wanita pelacur yang tidak akan menolak tawaran siapapun. Tetapi aku masih bimbang, sekalipun para imam telah mengatakan: ‘Bermut’ahlah dengan wanita pelacur, karena sesungguhnya engkau telah mengeluarkannya dari yang haram kepada yang halal. Maka aku bertanya kepada Abu Muhammad: ‘Bolehkah aku melakukan mut’ah setelah sekian lama meninggalkannya?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya engkau telah menghidupkan salah satu Sunnah dan mematikan salah satu bid’ah. Tidak mengapa engkau melakukannya’.”[9]
Kedelapan : Kaum Syi’ah menghalalkan pinjam-meminjam istri.
Praktek ini sebagaimana terdapat di dalam kitab-kitab kaum Syi’ah, seperti diriwayatkan dari Hasan al-Athar, ia berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah tentang i’aratul-farj (pinjam-meminjam istri), maka dia menjawab: ‘Tidak mengapa untuk melakukannya’. Aku kembali bertanya: ‘Bagaimana kalau ternyata sampai melahirkan anak?’ Dia menjawab: ‘Anak itu untuk orang yang memiliki wanita tersebut, kecuali kalau memang dia memberikan syarat’.”[10]
Demikian, sebagian pemikiran dan keyakinan kaum Syi’ah tentang nikah mut’ah (kawin kontrak), yang menggambarkan bahwa praktek nikah mut’ah merupakan kerusakan moral dan praktek seks bebas dan penuh dengan kedustaan yang mereka nisbatkan kepada agama yang mulia ini. Sehingga sangat mengherankan, ketika sebagian orang yang mendapatkan julukan “cendikiawan Islam” membela tanpa reserve terhadap agama Syi’ah yang mengusung pemikiran aneh dan menyesatkan. Bahkan sebagai “cendekiawan Islam”, mereka mengatakan dengan penuh kejahilan bahwa madzhab Syi’ah sama dengan madzhab yang empat, sehingga mereka berusaha mendekatkan Agama Syi’ah dengan agama Islam. Yang lainnya lagi: ”Mengapa kita harus sibuk membahas tentang Syi’ah? Bukahkah mereka juga muslim seperti kita; cari persamaannya dan tutupi perbedaannya”.
Begitulah syubhat mereka, sehingga tampaklah kejahilan mereka secara nyata terhadap agama Islam yang mulia dan sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan dalam firman-Nya, yang artinya: “Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta”. [al-Kahfi/18 ayat 5].
Sumber:
Kitab al Jama’âat al-Islamiyyah fî Dha`uil Kitâbi was-Sunnah,
karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali, halaman 305-308.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Man lâ Yahduruhu al-Faqîhu (2/148), Wasâ`il Syiah (4/438), Tafsîr ash-Shafiy (1/347).
[2]. Ar-Raudhatu minal-Kâfi (hlm. 151), Wasâ`il Syiah (14/438).
[3]. Minhâju ash-Shadiqîn, oleh Fathullah al-Qasimi, hlm. 356.
[4]. Ibid.
[5]. Al-Furu’ minal-Kâfi (2/46), Wasâ`il Syiah ( 14/457).
[6]. Man lâ Yahduruhu al-Faqîhu (2/149), Wasâ`il Syiah (14/456).
[7]. Wasâ`il Syiah, 14/457.
[8]. Wasâ`il Syiah, 14/455.
[9]. Wasâ`il Syiah (14/455), Kasyfu al-Ghummah, hlm. 307.
[10]. Wasâ`il Syiah, (7/540), Furû’ al-Kâfi (2/48), al-Istibshâr (3/141), at-Tahdzib (2/185).
(ADI FIRMANSYAH)

Ahlaq si Bejad Khomeini

Khomeini, sebuah nama yang dikenal di seluruh penjuru dunia, sebuah nama yang dikagumi jutaan orang di dunia. Sosok yang menjadi idola dan panutan jutaan orang. Tidak banyak orang seperti dia. Pada beberapa makalah yang lalu, pembaca telah menyimak beberapa pembahasan dan riwayat peristiwa “kamis kelabu” –seperti disebut oleh kawan kita yang satu itu-. Riwayat-riwayat itu berasal dari shahih Bukhari dan muslim.

Dibanding Kitab Al Kafi, Al Irsyad, atau Jawahirul Kalam, kitab Shahih Bukhari dan Muslim jauh lebih mudah dicari. Artinya, kalau orang ingin melihat langsung ke Shahih Bukhari, dia akan dengan mudah menemukan kitabnya, dan melihat langsung riwayat haditsnya. Orang yang berbohong dengan mengatasnamakan riwayat Bukhari, begitu mudah kebohongannya akan terbongkar, dia akan ketahuan berbohong. Ini karena kitab shahih Bukhari dan Muslim, begitu mudah dicari.

Logikanya, orang yang akan berbohong atas nama Bukhari Muslim, akan berpikir beberapa kali. Pembaca barangkali tidak percaya jika ada orang yang nekad berbohong, dan mengklaim hadits tertentu ada di Bukhari Muslim, namun nyatanya tidak. Tapi ada saja orang yang nekad berbohong meski mudah ketahuan.

Dia berbohong atas nama Bukhari dan Muslim tentang kisah hari kamis. Siapa dia? Dia adalah Khomeini, sosok yang dianggap oleh syiah sebagai wakil imam Mahdi, imam yang bersembunyi dan tidak memunculkan diri. Kapan Imam Mahdi melantik Khomeini menjadi wakilnya? Tidak jelas kapan waktunya. Yang jelas syiah meyakini hal itu. Asal pembaca tahu saja, imam Mahdi yang diyakini syiah hari ini, tidak jelas keberadaannya. Tidak ada yang bisa membuktikan keberadaannya.

Dalam kitab Kasyful Asrar hal 137 –edisi arab-, Khomeini mengatakan:
عندما كان رسول الله في فراش المرض,و يحف به عدد كثير,قال مخاطبا الحاضرين: تعالوا أكتب لكم شيئا يحميكم من الوقوع في الضلالة , فقال عمر بن الخطاب : لقد هجر رسول الله. وقد نقل نص هذه الرواية المؤرخون وأصحاب الحديث من البخاري ومسلم وأحمد مع اختلاف في اللفظ ، وهذا يؤكد أن هذه الفرية صدرت من ابن الخطاب المفتري

Terjemahannya kurang lebih demikian:

Saat Rasulullah terbaring sakit, dan dikelilingi oleh banyak orang, Beliau bersabda pada orang-orang yang hadir di situ: kemarilah, aku akan menuliskan pada kalian tulisan yang akan menjaga kalian dari kesesatan. Lalu Umar bin Khattab mengatakan : Rasulullah telah meracau.
Text riwayat ini telah dinukil oleh para ahli sejarah dan ahli hadits seperti Bukhari, Muslim, Ahmad, dengan sedikit perbedaan pada redaksi. Ini menegaskan lagi bahwa kebohongan ini berasal dari Ibnul Khattab si pembohong.

Mari Kita lihat langsung ke sumber aslinya, ke Shahih Bukhari dan Muslim :

عن سعيد ابن جبير عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال يوم الخميس وما يوم الخميس ثم بكى حتى خضب دمعه الحصباء فقال : اشتد برسول الله صلى الله عليه و سلم وجعه يوم الخميس فقال ( ائتوني بكتاب أكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده أبدا ) . فتنازعوا ولا ينبغي عند نبي تنازع فقالوا هجر رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ قال ( دعوني فالذي أنا فيه خير مما تدعونني إليه ) .

Bab Jawa’izul Wafd

Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas mengatakan: hari kamis, apa yang terjadi di hari kamis, lalu menangis, sampai air matanya membasahi kerikil, lalu melanjutkan: Sakit Rasulullah semakin berat pada hari kamis, lalu bersabda: bawakan pena dan kertas kemari, aku akan menulis sebuah wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, lalu mereka berselisih paham, padahal tidak selayaknya terjadi perselisihan di depan Nabi, lalu mereka mengatakan : Rasulullah telah meracau? Lalu Rasulullah bersabda: tinggalkan aku, keadaanku saat ini lebih baik dari apa yang kalian ajak.

Riwayat lain dari Bukhari:

سمع ابن عباس رضي الله عنهما يقول
: يوم الخميس وما يوم الخميس ثم بكى حتى بل دمعه الحصى قلت يا أبا عباس ما يوم الخميس ؟ قال اشتد برسول الله صلى الله عليه و سلم وجعه فقال ( ائتوني بكتف أكتب لكم كتابا لا تضلوا بعده أبدا ) . فتنازعوا ولا ينبغي عند نبي تنازع فقالوا ما له أهجر استفهموه ؟ فقال ( ذروني فالذي أنا فيه خير مما تدعونني إليه )

Dari Ibnu Abbas mengatakan: hari kamis, apa yang terjadi di hari kamis, lalu menangis, sampai air matanya membasahi kerikil, lalu aku bertanya, wahai Abul Abbas, apa yang terjadi pada hari kamis? Ibnu Abbas melanjutkan: Sakit Rasulullah semakin berat pada hari kamis, lalu bersabda: bawakan pena dan kertas kemari, aku akan menulis sebuah wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, lalu mereka berselisih paham, padahal tidak selayaknya terjadi perselisihan di depan Nabi, lalu mereka mengatakan : apa yang dikatakan Rasulullah, apakah Rasulullah telah meracau? Mintalah penjelasan lagi. Lalu Rasulullah bersabda: tinggalkan aku, keadaanku saat ini lebih baik dari ajakan kalian.

Bab Ikhrajul Yahud Min Jaziratil Arab

Riwayat lain dari Bukhari:

عن سعيد بن جبير قال قال ابن عباس : يوم الخميس وما يوم الخميس ؟ اشتد برسول الله صلى الله عليه و سلم وجعه فقال ( ائتوني أكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده أبدا ) . فتنازعوا ولا ينبغي عند نبي تنازع فقالوا ما شأنه أهجر استفهموه ؟ فذهبوا يردون عليه فقال ( دعوني فالذي أنا فيه خير مما تدعونني إليه ) .

Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas mengatakan: hari kamis, apa yang terjadi di hari kamis, lalu menangis, , lalu melanjutkan: Sakit Rasulullah semakin berat pada hari kamis, lalu bersabda: bawakan pena dan kertas kemari, aku akan menulis sebuah wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, lalu mereka berselisih paham, padahal tidak selayaknya terjadi perselisihan di depan Nabi, lalu mereka mengatakan : Rasulullah telah meracau? Lalu Rasulullah bersabda: tinggalkan aku, keadaanku saat ini lebih baik dari ajakan kalian.

Bab Maradhin Nabiy Shallalahu Alaihi Wasallam

Riwayat dari Shahih Muslim:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَوْمُ الْخَمِيسِ وَمَا يَوْمُ الْخَمِيسِ ثُمَّ بَكَى حَتَّى بَلَّ دَمْعُهُ الْحَصَى. فَقُلْتُ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ وَمَا يَوْمُ الْخَمِيسِ قَالَ اشْتَدَّ بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَجَعُهُ. فَقَالَ « ائْتُونِى أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لاَ تَضِلُّوا بَعْدِى ». فَتَنَازَعُوا وَمَا يَنْبَغِى عِنْدَ نَبِىٍّ تَنَازُعٌ. وَقَالُوا مَا شَأْنُهُ أَهَجَرَ اسْتَفْهِمُوهُ.

Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas mengatakan: hari kamis, apa yang terjadi di hari kamis, lalu menangis, sampai air matanya membasahi kerikil, lalu aku bertanya, wahai Ibnu Abbas, apa yang terjadi pada hari kamis? Ibnu Abbas melanjutkan: Sakit Rasulullah semakin berat pada hari kamis, lalu bersabda: bawakan pena dan kertas kemari, aku akan menulis sebuah wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, lalu mereka berselisih paham, padahal tidak selayaknya terjadi perselisihan di depan Nabi, lalu mereka mengatakan : apa yang dikatakan Rasulullah, apakah Rasulullah telah meracau? Mintalah penjelasan lagi.

Bab Tarkil Washiyyah Liman Laisa Lahu Syai’un Yushii fiihi

Riwayat lainnya dari Shahih Muslim:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ يَوْمُ الْخَمِيسِ وَمَا يَوْمُ الْخَمِيسِ. ثُمَّ جَعَلَ تَسِيلُ دُمُوعُهُ حَتَّى رَأَيْتُ عَلَى خَدَّيْهِ كَأَنَّهَا نِظَامُ اللُّؤْلُؤِ. قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ائْتُونِى بِالْكَتِفِ وَالدَّوَاةِ - أَوِ اللَّوْحِ وَالدَّوَاةِ - أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ أَبَدًا ». فَقَالُوا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَهْجُرُ.

Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas mengatakan: hari kamis, apa yang terjadi di hari kamis, lalu menangis, lalu air matanya mengalir di pipinya, sampai aku melihat di pipinya seakan untaian mutiara, Ibnu Abbas melanjutkan: Sakit Rasulullah semakin berat pada hari kamis, lalu bersabda: bawakan pena dan kertas kemari, aku akan menulis sebuah wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, lalu mereka mengatakan : Rasulullah telah meracau? Mintalah penjelasan lagi.

Bab Tarkil Washiyyah Liman Laisa Lahu Syai’un Yushii fiihi

Kita lihat sendiri di shahih Muslim dan Bukhari, ternyata apa yang diucapkan oleh Khomeini tidak ada. Dalam seluruh riwayat di atas, tidak ada kata Umar. Sementara yang menuduh Nabi meracau adalah mereka. Artinya, jumlahnya lebih dari tiga.

Siapa mereka yang berani menuduh Nabi meracau? Riwayat-riwayat lainnya –juga di Bukhari Muslim- menyebutkan siapa mereka. Mereka juga ribut di depan Nabi saat Nabi sakit keras. Siapakah mereka? Silahkan menyimak kembali makalah : siapa yang ribut saat Nabi sakit?
Dengan mudah kita mendapati bahwa yang berbohong adalah Khomeini sendiri, bukan Umar bin Khattab. Khomeni lah yang pembohong, bukan Umar bin Khattab.

Ini sebuah pertanda, berbohong adalah kebiasaan ustadz dan ulama syiah yang susah ditinggalkan. Kita tidak perlu heran, karena mereka bermakmum pada Khomeini, sedangkan makmum harus mengikuti imamnya.

Apa maksud dan tujuan ini semua? Semua ini untuk mengungkapkan kebencian Khomeini kepada Umar bin Khattab, orang yang membawa obor cahaya Islam pada negeri Persia.






Bahkan Ali bin Abi Thalib mengusir Abdullah bin Saba'

Apa yang Anda ketahui tentang pendiri Syiah: Abdullah bin Saba? Seorang Yahudi dari Yaman, Arabia, abad ketujuh, yang menetap di Madinah dan memeluk Islam-yang pada beberapa bagian sejarah, keislamannya sangat dipertanyakan. Setelah mengkritik buruknya administrasi Kalifah Ustman, ia dibuang dari ibukota. Kemudian ia pergi ke Mesir, di mana ia mendirikan sebuah sekte anti-Utsman, untuk mempromosikan kepentingan Ali. Mengetahui ia memperoleh pengaruh yang besar di situ, mengingat Ali adalah keponakan Rasulullah. Padahal, bahkan Ali sendiri pun mengusirnya ke Madain.
Setelah Ali wafat, Abdullah bin Saba terus-menerus menghembuskan isyu kepada orang-orang bahwa Ali tidak mati, tapi masih hidup, dan tidak pernah terbunuh. Ia menghembuskan kabar bahwa sebagian dari sifat Ketuhanan ada dalam diri Ali, dan bahwa setelah waktu tertentu ia akan kembali untuk memerintah bumi dengan adil.
Untuk mengacaukan Islam, Yahudi menyusun rencana untuk menambah dan menghapus hal-hal dari keyakinan Islam yang murni, Abdullah bin Saba memainkan peran penting dalam konspirasi ini, dan selama berabad-abad kita telah menyaksikan manifestasi dari distorsi bid'ah dalam ajaran Syiah.
Sejarah juga mencatat bahwa Syiah menghina agama Islam, dan menyatakan bahwa mereka adalah musuh nomor satu Muslim. Mereka sepenuhnya bekerja sama dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam menghancurkan Iraq dan Afghanistan. Dalam semua sejarah Islam, Syiah selalu saja menikam Islam dari belakang.
Lantas, bagaimana dengan wacana Iran yang anti-Israel dan Amerika? Hal itu sudah sejak lama diyakini sebagai sebuah retrorika belaka. Orang-orang Syiah selalu mengagungkan Ali—melampui terhadap Rasulullah Muhammad saw. Padahal Ali yang disebut sebagai singa Islam, yang berjuang untuk membela kehormatan Islam dan umat Islam, tidak pernah bekerja sama dengan musuh-musuh Islam, apalagi menumpahkan darah dan menjarah kekayaan Muslim. [sa/erm/syiahindonesia.com]

Benarkah Cucu Nabi Muhammad Saw. Diperkosa?

Ummu Kultsum, Cucu Nabi, putri Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, apakah dia diperkosa? Apa yang sebenarnya terjadi? mungkinkah cucu Nabi diperkosa? Jika benar, siapa pelakunya? Mengapa bisa terjadi? Simak selengkapnya…
Barangkali pembaca kaget saat membaca judul di atas, namun kami beritahukan bahwa pernyataan ini bukan pernyataan kami, kami hanya menukil ucapan Imam   Syi’ah sendiri, yaitu Imam Abu Abdullah Ja’far As-Shadiq, yang tercantum dalam kitab Al-Kafi, jilid. 5, hal. 346, yang mengomentari pernikahan Umar bin Khattab dengan Ummi Kultsum: “Ini adalah kemaluan kami yang dicuri dengan paksa.”
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) فِي تَزْوِيجِ أُمِّ كُلْثُومٍ فَقَالَ إِنَّ ذَلِكَ فَرْجٌ غُصِبْنَاهُ .
Barang kali Imam Ja’far As-Shadiq tidak menyadari, bahwa tokoh utama yang memuluskan peristiwa perampasan ini adalah Ali bin Abi Thalib, karena jika Ali menolak menikahkan Ummu Kultsum dengan Umar, peristiwa ini tidak perlu terjadi, dan Imam Ja’far tidak perlu mengucapkan sabdanya di atas.
Mencuri dengan paksa di sini adalah melakukan hubungan suami istri dengan paksaan. Atau dengan kata lain memperkosa. Artinya Ali menikahkan putrinya Ummi Kultsum dengan terpaksa. Sebenarnya, Ali tidak rela jika Umar menikah dengan putrinya, yang merupakan darah daging Rasulullah, melalui putrinya tercinta, Fatimah Az-Zahra. Namun apa boleh buat, Ali tak kuasa menolak permintaan Umar.
Menurut pembaca, apakah orang yang takut menolak pinangan orang yang tidak layak untuk menikah dengan putrinya, layak disebut perkasa dan gagah berani? Kami yakin pembaca sepakat, bahwa orang itu lebih layak disebut penakut dan pengecut. Jika Ali memang takut menolak permintaan Umar untuk menikah dengan putrinya, maka kita perlu mengkaji kembali keyakinan Syi’ah bahwa Ali adalah ksatria yang gagah berani, dan layak menjadi Imam.
Jika kita perhatikan, keyakinan Syi’ah selalu mengungkap kontradiksi ajaran Syi’ah sendiri. Contoh yang jelas adalah pernikahan antara Umar bin Khattab. Selama ini Syi’ah meyakini bahwa Umar adalah sosok penjahat besar, yang ikut serta bersama para sahabat yang dipimpin oleh Abu Bakar, melakukan konspirasi merampas jabatan Imamah dari Ali. Bahkan dalam banyak riwayat Syi’ah jelas disebutkan bahwa Umar adalah penghuni Neraka, selain juga disebut meragukan kenabian Rasulullah. Tidak hanya pada banyak kitab literatur Syi’ah, kecaman dan celaan pada Umar kita temukan pada banyak forum diskusi dan halaman web. Inilah keyakinan Syi’ah yang tidak dapat diganggu gugat, dan seiring sejalan dengan ajaran Imamah. Menganggap Umar sebagai seorang shaleh bertolak belakang dengan keyakinan Imamah, dan bahkan dapat menggugurkannya.
Pertanyaannya, apakah Ali tahu bahwa Umar adalah seorang penjahat? Sudah semestinya tahu, karena Ali adalah salah satu korban, yaitu ketika Umar bersama Abu Bakar merampas jabatan Imamah yang sudah menjadi haknya –seperti keyakinan Syi’ah–. Ditambah lagi, Umar merupakan pelaku pemukulan terhadap Fatimah Az-Zahra –sekali lagi seperti yang diyakini Syi’ah–, hingga tulang rusuknya patah dan janin yang dikandungnya gugur.
Jika demikian, berarti Ali menikahkan putrinya dengan seorang penjahat, sedangkan dalam kitab Al-Kafi sendiri –jilid. 5, hal. 347– tercantum riwayat dari Abu Ja’far: “Siapa yang datang kepada kalian (untuk melamar) dan kalian ridha atas agama dan amanatnya, maka nikahkanlah, jika kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
Menerima lamaran seorang penjahat adalah pelanggaran, karena berakibat fatal bagi si istri. Seorang penjahat tidak akan membimbing keluarganya ke jalan yang benar, dan tidak bisa mendidik anak-anak ke jalan yang lurus, keluarga sakinah mawaddah war rahmah mustahil tercipta jika keluarga itu dipimpin oleh seorang penjahat. Mustahil bagi Imam yang ma’shum –seperti diyakini Syi’ah– melakukan pelanggaran dan menjerumuskan putrinya sendiri, apalagi Ummu Kultsum merupakan darah daging Fatimah Az-Zahra.
Sudah seharusnya Ali tahu bahwa Umar adalah penjahat, karena Syi’ah mengklaim ajarannya adalah ajaran Ahlul Bait yang sudah pasti diajarkan juga oleh Ali. Di sini Syi’ah jatuh pada kebingungan, di satu sisi, tidak mungkin Umar dianggap orang baik, sementara di sisi lain, Ali tidak mungkin menikahkan putrinya dengan penjahat. Maka dibuatlah jalan keluar untuk menyelamatkan kaum awam Syi’ah agar tidak terlalu panjang berpikir, agar mereka tidak menemukan kontradiksi pada ajarannya. Muncullah jawaban bahwa Ali menikahkan anaknya secara terpaksa. Tetapi seperti disebut di atas, jawaban ini menimbulkan konsekuensi yang tak kalah berat. Yaitu Ali bukan lagi seorang ksatria yang gagah berani, seluruh kisah tentang keberanian Ali sirna sia-sia. Ali yang gagah berani tiba-tiba loyo dan lemas saat digertak Umar. Semua ini adalah konsekuensi dari pernyataan Syi’ah sendiri.
Pernikahan Umar bin Khattab dengan Ummu Kultsum adalah salah satu kenyataan yang menggoncang madzhab Syi’ah. Mengapa demikian? Pernyataan ini tidak berlebihan, karena orang pemberani seperti Ali akan bersikap tegas menolak pinangan penjahat, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, Ali menikahkan Ummu Kultsum dengan Umar. Ini merupakan persaksian dan referensi dari Ali bahwa Umar adalah orang yang shaleh, amanat lagi baik agamanya. Sementara orang yang agamanya baik tidak akan merampas jabatan Imamah, dan pasti taat akan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sehubungan dengan Imamah, orang yang agamanya baik lagi shaleh dia akan mentaati wasiat Rasul terkait Imamah, ini jika memang benar Rasulullah pernah berwasiat mengangkat Ali menjadi Imam. Persaksian Ali tentang keshalehan Umar membuat kita mempertanyakan lagi keyakinan Syi’ah, yaitu tentang wasiat penunjukan Ali sebagai khalifah oleh Nabi. Jika memang Nabi pernah berwasiat tentang Imamah Ali, tentu Umar yang shaleh ikut berbaiat kepada Ali dan tidak menjadi khalifah. Namun yang terjadi adalah Umar tetap dianggap shaleh dan baik agamanya oleh Ali, meski membaiat Abu Bakar dan ikut menjadi khalifah. Ini berarti Umar tetap shaleh meski –dalam pandangan Syi’ah– mengkhianati wasiat Nabi. Atau memang Nabi tidak pernah berwasiat mengenai pengangkatan Ali. Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah.
Begitu juga pernikahan ini membantah klaim Syi’ah tentang permusuhan yang terjadi antara sahabat Nabi dan Ahlul Bait, di samping juga membuktikan kecintaan Umar kepada Ahlul Bait.
Sedangkan pandangan Syi’ah terhadap Umar sudah kami singgung sedikit di atas, bahwa Umar adalah salah satu tokoh jahat. Mengapa Ali menerima pinangan tokoh jahat? Ada dua kemungkinan, pertama karena takut, kedua karena memang menerima pinangan penjahat itu. Sekali lagi, ini adalah mengikuti alur berpikir Syi’ah yang menganggap Umar sebagai tokoh jahat. Sedangkan kami beranggapan bahwa Ali adalah seorang gagah berani dan tidak mungkin menerima pinangan seorang penjahat karena takut. Ali menikahkan putrinya dengan Umar adalah karena tahu bahwa Umar adalah seorang sahabat besar, yang layak menikah dengan darah dagingnya, yang juga darah daging Fatimah Az-Zahra.
Konsekuensi yang sungguh berat, menganggap Ali penakut, atau Ali menerima pinangan seorang tokoh jahat, atau Umar adalah seorang sahabat yang shaleh lagi baik akhlaknya. Sekedar mengingatkan pembaca, Imam Ja’far As-Shadiq dalam sabdanya di atas mengakui bahwa Ali tidak kuasa menolak paksaan Umar untuk menikahi Ummu Kultsum. Guna menghindar dari tiga konsekuensi yang berat ini, dan sebagian kawan-kawan Syi’ah berusaha mengingkari terjadinya pernikahan ini. Mereka menganggap bahwa pernikahan itu adalah karangan Bani Umayah, atau hadits palsu dari orang-orang tidak bertanggung jawab.
Klaim ini ditolak oleh Imam Ja’far As-Shadiq, yang mengakui adanya pernikahan itu pada sabdanya di atas. Jika memang pernikahan itu tidak terjadi, tentu tidak ada kemaluan yang dirampas, seperti kata Imam Ja’far sendiri. Riwayat ini diakui sebagai shahih oleh Al-Khawaju’i dalam Rasail Fiqhiyyah, jilid. 2, hal. 107, Al-Khawaju’i menyatakan: “Dalam riwayat yang shahih dari Abu Abdillah mengatakan tentang pernikahan Ummu Kultsum: Ini adalah kemaluan yang dirampas dari kami.”
Meskipun demikian, yang mengingkari terjadinya pernikahan ini bukan hanya kawan-kawan Syi’ah, ternyata ada ulama Syi’ah yang juga mengingkari, seperti dinukil oleh Al-Khawaju’i dalam Rasa’il Fiqhiyah, jilid. 2, hal. 106-110, yang menukil dari An-Nubakhti dalam kitab Itsbatul Imamah, bahwa Ummu Kultsum saat itu masih kecil, dan Umar meninggal dunia sebelum menggaulinya.
Begitu juga Ja’far An-Naqdi dalam Al-Anwar Al-Alawiyah, hal. 435, mengatakan: “Diriwayatkan ketika Umar masuk menemuinya, hanya bisa melihat Ummu Kultsum dari jauh, setelah mendekat tiba-tiba ada penghalang yang menghalangi.”
Ada lagi cerita bahwa yang dinikahi oleh Umar adalah jin yang menyamar menyerupai Ummu Kultsum, jin Yahudi dari Najran yang bernama Sahiqah binti Haririyyah, lalu dia menyamar menjadi Ummu Kultsum, dan menjaga Ummu Kultsum yang asli dari pandangan Umar. Dan ada lagi pendapat yang menyangkal terjadinya pernikahan ini.
Al-Mufid meyakini pendapat ini, dalam Mas’alah Sarawiyah, pada Mas’alah kesepuluh, begitu pula dalam kita Mas’alah Ukbariyah, pada Mas’alah kelima belas. Al-Mufid juga menulis risalah tersendiri tentanghal ini, dicetak secara terpisah pada edaran mu’tamar Syaikh Al-Mufid.
Selain Al-Mufid, Mir Nashir Husein Al-Laknawi Al-Hindi dalam kitabnya Ifhamul A’da’ wal Khushum, bitakdzibi Ma Iftarauhu ‘ala Sayyidatina Ummi Kaltsum, dan Muhammad Jawad Al-Balaghi juga menyangkal pernikahan ini. Begitu pula ulama lainnya. Sementara Al-Khawaju’i dalam Rasa’il Fiqhiyah –idem– mengomentari pernikahan ini: Nampaknya peristiwa ini hanyalah propaganda Bani Umayah, seandainya peristiwa ini benar-benar terjadi, alasannya telah kami bahas di atas.
Begitulah, Bani Umayah menjadi kambing hitam.
Di bawah ini riwayat-riwayat yang dishahihkan oleh ulama Syi’ah.
Riwayat Syi’ah Tentang Iddah Ummi Kultsum
Daalam kitab Al-Kafi:
Dari Abdullah bin Sinan dan Muawiyah bin Ammar, dari Abu Abdullah, saya bertanya kepada Abu Abdillah tentang perempuan yang ditinggal mati suaminya, apakah ber-‘iddah di rumahnya, atau di tempat di mana dia mau? Maka Abu Abdillah menjawab: Di tempat yang dia suka. Ketika Umar bin Khattab meninggal dunia, Ali mendatangi Ummu Kultsum dan membawanya ke rumah Ali.
Al-Majlisi mengatakan: Riwayat ini muwatsaq. (Lihat dalam Mir’atul Uqul, jilid. 21, hal. 197).
Bahbudi mengatakan: Shahih, Shahih Kitabul Kafi, jilid. 3, hal. 121.
Dari Sulaiman bin Khalid, saya bertanya kepada Abu Abdillah tentang wanita yang ditinggal mati suaminya, apakah menghabiskan masa iddah di rumah suaminya atau di tempat yang disukai? Jawabnya: di tempat mana saja yang dia mau, Ketika Umar bin Khattab meninggal dunia, Ali mendatangi Ummu Kultsum dan membawanya ke rumah Ali.
Al-Majlisi mengatakan: Riwayat ini shahih, jilid. 21, hal. 199, Bahbudi menyatakan: Riwayat ini shahih, jilid. 3, hal. 122.
Riwayat ini juga tercantum dalam kitab Rasa’il Fiqhiyyah, karya Al-Khawaju’i, jilid. 2, hal. 106 -110.
Riwayat ini tercantum juga dalam Al-Hadaiq An-Nadhirah fi Ahkamil ‘Itrah At-Thahirah, jilid. 25, hal. 472 dan 472.
Begitu juga dalam Jami’ul Madarik fi Syarhi Mukhtashari An-Nafi’, karya Ahmad Al-Khawansari, jilid 561 – 562.
Riwayat Tentang Zaid bin Ummi Kultsum dan wafatnya.
Dari Abu Ja’far mengatakan: “Ummu Kultsum binti Ali dan anaknya, yang bernama Zaid bin Umar bin Khattab meninggal dunia pada saat yang sama, tidak diketahui mana yang wafat terlebih dahulu, maka masing-masing tidak mewariskan dan mewarisi dari yang lain.” (Lihat dalam kitab: At-Tahdzib,Wasa’il Syi’ah, jilid. 26, hal. 301, Jawahirul Kalam, jiid. 39, hal. 307-308, Mustanadu  Syi’ah fi Ahkami Syariah, jilid. 19, hal. 452-453, dan dalam Raudhatul Muttaqin fi Syarhi Man La Yahdhuruhul Faqih, jilid. 11, hal. 324-325). jilid. 9, hal. 362,
Sementara dalam Mukhtalaful  Syi’ah fi Ahkami Syariah, hal. 308-309 disebutkan:
“Syaikh berdalil dengan ijma’, dan dengan riwayat Ammar bin Yasir, yang mengatakan: Jenazah Ummu Kultsum binti Ali dan Zaid bin Umar, sedangkan dalam rombongan pengantar terdapat Hasan, Husein, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah, mereka meletakkan jenazah anak (Zaid) di depan Imam, dan jenazah ibunya di belakangnya, mereka mengatakan: Inilah sunnah.”
Riwayat ini juga dijadikan dalil dalam Jawahirul Kalam, jilid. 12, hal. 80-81.
Sebentar lagi kita akan melihat bahwa ajaran Syi’ah adalah ajaran yang kontradiktif dan bahkan menghujat keyakinan Syi’ah sendiri.
Syi’ah percaya bahwa anak Imam ma’shum diperkosa (baca: dirampas kemaluannya), Syi’ah juga mengingkari bahwa Umar pernah menggaulinya, dengan dalih riwayat yang dinikahi adalah jin perempuan dari Najran, jika Umar ingin menggauli Ummu Kultsum, jin itulah yang menyerupai Ummu Kultsum dan Ummu Kultsum yang asli tidak pernah digauli oleh Umar. Tetapi ketika Umar wafat, Ali menjemputnya dari rumah Umar, untuk dibawa ke rumahnya, dan satu lagi, riwayat Syi’ah menyatakan bahwa Ummu Kultsum memiliki anak.
Ummu Kultsum tidak pernah menikah dengan Umar, tidak pernah digauli, tetapi ketika Umar wafat, Ali menjemput Ummu Kultsum dari rumah Umar, dan Ummu Kultsum memilik seorang anak.
Berarti… (silahkan pembaca menyimpulkan sendiri).
Syi’ah tidak bisa menerima terjadinya pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar, tetapi ada beberapa pertanyaan yang –seperti biasanya– susah dijawab:
  1. Siapa yang memperkosa Ummu Kultsum, anak seorang Imam yang ma’shum?
  2. Siapa ayah dari Zaid, anak Ummu Kultsum yang meninggal dunia bersamaan dengannya? Riwayat   Syi’ah menyatakan Ummu Kultsum memiliki anak.
  3. Apakah anak gadis yang belum menikah harus melalui masa iddah? Atau kali ini Imam ma’shum keliru?
  4. Dari mana Ummu Kultsum bisa memiliki anak, jika memang tidak pernah menikah? Apakah anak itu adalah hasil perkosaan, seperti disebutkan oleh Imam ma’shum? Atau dari suami lain? Jika memang dari suami lain, siapakah suaminya?
  5. Jika memang pernikahan itu tidak pernah terjadi, mengapa Imam ma’shum menyebut nama anak Ummu Kultsum dengan nama Zaid bin Umar bin Khattab, menisbatkan nasabnya pada Umar bin Khattab?
  6. Mengapa Imam ma’shum menisbatkan anak Ummu Kultsum pada Umar bin Khattab, bukannya kepada sahabat yang diyakini Syi’ah sebagai sahabat sejati, yang meyakini hak Ali untuk menjadi khalifah, untuk menutupi aib?
  7. Apakah Imam ma’shum melakukan sandiwara murahan, mengajak Ummu Kultsum ke rumah musuhnya setelah musuhnya meninggal, lalu dibawa kembali ke rumah Ali, apa perlunya semua itu jika memang Ummu Kultsum tidak pernah menikah dengan Umar bin Khattab?
Jika tidak ada Umar, Ali akan terkena aib yang luar biasa. [hakekat/syiahindonesia.com].

Penyimpangan Syi'ah Imamiyah Itsna Asyariah

Aliran Syi'ah "Imamiyah Al-Itsa 'Asyariyyah" membawa beberapa penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut jelas disebutkan dalam referensi-referensi yang mereka miliki. Dalam artikel ini akan disebutkan beberapa penyimpangan aliran Syi'ah "Imamiyah Al-Itsna-'Asyariyyah" (inhirafu manhaj "Imamiyyah Itsna Asyariyyah") berdasarkan referensi mereka sendiri.

A. Fatwa-fatwa Khomeini Tentang Aqidah dalam kitabnya Kasyful-Asrar[1]:

1. Meminta Sesuatu Kepada Orang yang Telah Mati Tidak Termasuk Syirik.
"Ada yang berkata, bahwa meminta sesuatu pada orang yang telah mati baik itu Rasul maupun Imam adalah syirik, karena mereka tidak bisa memberi manfaat dan madharrat pada orang yang masih hidup. Maka saya (Khomeini) katakan: Tidak, hal tersebut tidak termasuk syirk, bahkan meminta sesuatu pada batu atau pohon juga tidak termasuk syirik, walaupun perbuatan tersebut adalah perbuatan orang yang bodoh. Maka jika yang demikian itu bukanlah syirik apalagi meminta pada Rasul dan Imam-imam yang telah wafat, karena telah jelas dalam dalil maupun akal bahwa ruh yang telah mati malah memiliki kekuatan yang lebih besar dan lebih kuat dan ilmu filsafat pun telah membenarkan dan membahas hal tersebut secara panjang lebar." (hal. 49) 2. Penyimpangan Abu Bakar dan Umar terhadap al-Qur'an.
"Disini saya katakan dengan tegas bahwa Abubakar dan Umar menyelisihi al-Qur'an dan mempermainkan Tuhan dan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal menurut hawa nafsu mereka dan bagaimana mereka berdua juga telah berbuat kezhaliman dengan melawan Fathimah putri nabi SAW dan oleh karenanya mereka berdua menjadi bodoh terhadap hukum ALLAH dan hukum agama." (hal. 126)
"Kita juga melihat ketika ia (Umar ra) yang buta mata hatinya itu mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan kekafiran dan ke-zindiq-annya, yaitu penolakannya pada al-Qur'an surat an-Najm, ayat-3." (hal. 137)
3. Dalil-Dalil Tentang Disyariatkannya Taqiyyah (Boleh Berdusta kepada selain orang Syi'ah):
"Dan kami tidak mengerti bagaimana mereka (ahlus-sunnah) menjauhi hikmah dan menyimpang karena hawa nafsu mereka, bagaimana tidak? Sedangkan TAQIYYAH adalah hukum akal yang paling jelas. Dan TAQIYYAH maknanya: Seorang manusia berkata dengan perkataan yang berbeda dengan kenyataannya atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan timbangan syariat karena menjaga darahnya, kehormatannya atau hartanya." (hal. 148) "Maka termasuk bab taqiyyah jika kadangkala diperintahkan menyelisihi hukum-hukum ALLAH, sampai dibolehkan seorang pengikut Syi'ah berbeda dengan apa yang dihatinya untuk menyesatkan selain mereka (Syi'ah) dan agar mereka itu (selain Syi'ah) terjatuh dalam kebinasaan." (hal. 148)
4. Mengapa Imamah (Aqidah tentang Imam yang Dua Belas -pen) Tidak Disebutkan dalam Al-Qur'an?
"Setelah aku jelaskan bahwa Keyakinan akan 12 Imam adalah ushuluddin (dasar aqidah Islam), dan bahwa al-Qur'an telah mengisyaratkan tentang hal tersebut secara tersirat. Dan aku jelaskan bahwa nabi SAW sengaja menyembunyikan ayat-ayat tentang Imamah dalam al-Qur'an karena takut al-Qur'an tersebut diselewengkan setelahnya, atau karena beliau SAW takut terjadinya perselisihan di antara kaum muslimin sehingga akan berdampak yang demikian itu terhadap aqidah Islam." (hal. 149)
5. Khulafa Rasyidun adalah Ahlul Bathil
"Dan telah kukatakan beberapa potongan dari kitab Nahjul-Balaghah[2] yang menetapkan bahwa Ali ra berpandangan bahwa para Khulafa selainnya adalah bathil." (hal. 186)
6. Penetapan Ratapan atas Husein dan Menjambak Rambut serta Merobek-robek Baju baginya setiap tahun (saat memperingati peristiwa Karbala -pen) sebagai Bagian dari ajaran Agama.
"Tidak ada dalam majlis tersebut kekurangan, karena semua itu adalah pelaksanaan perintah agama dan akhlaqiyyahnya dan tersebarnya fadhilah dan akhlaq yang paling tinggi serta aturan dari sisi ALLAH serta hukum yang lurus yang merupakan pencerminan dari madzhab Syi'ah yang suci yang ittiba' pada Ali alaihis salam." (hal. 192)
7. Wilayatul Faqih (Penetapan Kepemimpinan para Ulama Besar Syi'ah sampai saat Bangkitnya Kembali Imam ke-12 Syi'ah -pent)
"Syaikh ash-Shaduq dalam kitab Ikmalud-Din, dan syaikh ath-Thusiy dalam kitab al-Ghaybah, dan at-Thabrasiy dalam kitab al-Ihtijaj menukil dari Imam yang Ghaib (Imam ke-12 Syi'ah yang sekarang sedang menghilang -pen), sbb: Adapun hadits-hadits yang jelas maka hendaklah merujuk pada para periwayat hadits-hadits kami (syi'ah -pen), karena mereka semua adalah hujjahku atas kalian dan aku adalah hujjah ALLAH! Lalu kata Khomeini selanjutnya: Maka wajib atas manusia pada masa ghaibnya Imam (ke-12 tersebut -pen) untuk merujuk semua urusan mereka pada para periwayat hadits (syi'ah) dan taat pada mereka karena Imam telah menjadikan mereka itu hujjahnya." (hal. 206) "Maka jelaslah dari hadits tersebut bahwa para Mujtahid adalah hakim dan barangsiapa yang menolak maka sama dengan menolak Imam dan barangsiapa menolak Imam maka berarti menolak ALLAH dan menolak ALLAH berarti syirik kepada-NYA." (hal. 207)
B. Ushul Fiqh Menurut Syi'ah[3]:
1. Bahwa Dalil Sunnah (menurut Syi'ah -pen) adalah Hadits Nabi SAW dan Hadits dari Imam Syi'ah Yang 12 Orang
Dalil Sunnah (menurut Syi'ah -pen) definisinya = Perkataan (qawlan) dari AL-MA'SHUM, perbuatan (fi'li) dan persetujuannya (taqrir). Definisi AL-MA'SHUM (menurut Syi'ah -pen): Semua yang ditetapkan kema'shumannya dengan dalil, yaitu nabi SAW dan 12 orang Imam ahlul-bait. (hal. 22)
Adapun kehujjahan as-sunnah yang bersumber dari ahlul-bait baik perkataan mereka, perbuatan mereka maupun persetujuan mereka maka dikembalikan keimaman mereka, kema'shuman mereka dan kebenaran mereka SAMA DENGAN KEDUDUKAN nabi SAW. (hal. 23)
2. Dirasah Sanad Hadits Menurut Syi'ah:
a. Pembagian Hadits dikelompokkan dari sisi banyak sanadnya dan hubungannya dengan para ma'shum/al-ma'shumiin (yaitu nabi SAW dan 12 Imam Syi'ah -pen) (hal. 26):
  • Hadits yang Terpaut Hati dengan Para Ma'shum (yang dibagi lagi menjadi mutawatir dan muqtarin)
  • Hadits yang Tidak Terpaut Hati dengan Para Ma'shum (yaitu hadits ahad)
b. Pembagian Hadits dari sisi penerimaannya (mu'tabar) (hal. 29-30):
  • Hadits Shahih (menurut Syi'ah -pen): Yaitu hadits yang seluruh periwayatnya adil dan sesuai dengan aqidah Syi'ah 12 Imam.
  • Hadits Mawtsiq: Yaitu yang seluruh periwayatnya tsiqah dari muslimin secara umum (ahlus-sunnah -pen), atau sebagiannya dari tsiqat muslimin dan sebagian lagi dari perawi yang adil dari Syi'ah 12 Imam.
  • Hadits Hasan: Yaitu yang kumpulan perawinya orang yang kurang kuat dari ulama hadits, atau dari percampuran antara yang adil yang tsiqat dan yang kurang kuat, atau dari percampuran antara yang adil dengan yang kurang kuat, atau yang tsiqat dengan yang kurang kuat.
3. Ijma' Menurut Syi'ah (hal 76):
a. Yaitu kesepakatan jama'ah ulama yang salah seorangnya adalah Imam yang ma'shum (salah seorang dari 12 Imam Syi'ah -pen).
b. Maksudnya adalah tegaknya ijma' yaitu jika para ulama tersebut mampu menyingkap makna salah satu pernyataan Imam yang ma'shum dalam suatu masalah.
c. Pembagian Ijma' (hal. 77):
  • Ijma' Muhshal: Yaitu semua ijma' yang dihasilkan oleh wilayatul faqih dari dirinya dan sesuai dengan perkataan para mufti.
  • Ijma' Manqul: Yaitu semua ijma' yang tidak dihasilkan oleh wilayatul faqih dari dirinya tetapi hanyalah dinukil darinya oleh para fuqaha yang lain.
___
Catatan Kaki:
[1] Kasyful Asrar, oleh: AyatuLLAH RuhuLLAH Khomeini. Alih-bahasa (dr bhs Parsi): DR Muhammad al-Bandari, Ta'liq hadits: Salim bin 'Ied al-Hilali, Kata Pengantar: DR Ahmad al-Khatib, Kritik: Nashiruddin al-Albani. Th 1408 H/1987 M. Penerbit: Daar al-'Imaar Lin-Nasyr wat-Tauzi', Amman-Urdun.
[2] Kitab tersebut adalah kitab palsu yang mengatasnamakan Ali ra (lih. Al-Mizan, oleh Imam Adz-Dzahabi III/124, juga Al-Lisan oleh Imam Ibnu Hajar, IV/223)
[3] Mabadi' Ushulul Fiqh (Muwajjiz Wafin Li Ahammi Mawdhu'at Ushulul Fiqh: Ta'rifat, Mushthalahat, Adillatisy Syari' al-Islamiy). Oleh: DR Abdul Hadi al-Fadhli. Penerbit: Mathabi' Dar wa Maktabah al-Hilal. Th 1986. Bairut-Libanon.
[ikwn/syiahindonesia.com].

Jelekkan Syiah, Wanita Mengamuk di Pengajian

Pasuruan, Bangil – Seorang wanita mendadak mengamuk di sebuah pengajian yang digelar Habib Umar bin Abdullah Assegaf, pimpinan Majlis Maulid wa Ta’lim Roudlotus Salaf di Kelurahan Bendomungal, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jumat (25/2/2011) sekitar pukul 08.00 WIB.
Perempuan yang diketahui bernama Fatimah mengaku, meskipun masih saudara, namun dirinya merasa sudah tak kuat lagi mendengar "provokasi" yang selalu dilontarkan dalam pengajian tersebut. Tak hanya sendirian, dalam aksinya Fatimah juga didampingi oleh dua temannya. Tak ayal, peristiwa ini langsung membuat gempar warga sekitar.
“Saya tidak terima kalau dia menjelek-jelekkan Syiah, meskipun saya sendiri orang Sunni. Kalau namanya pengajian, ya bicara soal agama saja tidak usah membahas yang lain, yang provokatif. Tidak usah mengolok-olok orang lain, apalagi soal orang Arab atau Syarifah,” terang Fatimah dengan nada kesal.
Untungnya, aksi Fatimah dan dua warga lainnya ini berhasil dihalau oleh Habib Kamil, yaitu keponakan Habib Umar bin Abdullah, sehingga mereka tidak dapat masuk ke dalam ruang pengajian.
Apalagi, mereka tiba-tiba mengamuk ketika pengajian hampir selesai dan kemudian ditutup dengan doa.
“Ya saya halangi, sehingga mereka tidak dapat masuk. Intinya ya mereka menjelek-jelekkan Majlis ini. Mereka marah-marah seperti orang gila itu,” kata Habib Kamil bin Hamid Assegaf, keponakan Habib Umar bin Abdullah Assegaf, kepada beritajatim.com.
Sementara itu, untuk mengantisipasi suasana yang semakin memanas, aparat brimob Polda Jatim dan Polres Pasuruan pun diterjunkan ke lokasi. [beritajatim]

   Perselisihan antara Sunni (Ahlus Sunnah) dan Syi’i (Syiah) di Bangil Pasuruan sesungguhnya telah berlangsung lama. Insiden bentrok di pesantren YAPI (Yayasan Pesantren Islam ) Bangil beberapa waktu lalu, 15 Februari 2011, adalah akumulasi dari perselisihan yang telah mengakar sejak awal tahun sembilan puluhan.
Bermula dari ditemukannya surat rahasia Habib Hussein al-Habsyi –-pendiri YAPI-– yang ditujukan kepada seseorang di Iran pada tahun 1993. Pihak YAPI tentunya kaget dengan terpublikasinya surat kepada seorang Syi'ah Iran itu. Sebab, surat itu berisi pernyataan Habib Hussein al-Habsyi, bahwa ia membuat kedok menyembunyikan ke-Syi’ah-annya sebagai setrategi dakwah. Padahal sebelumnya ia dikenal sebagai ulama’ Sunni yang masyhur di kota Bangil.
Inilah sebagian isi terjemahan surat yang ditulis berbahasa Arab tersebut:
“Saya ucapkan terima kasih kepada tuan atas usulan yang benar terhadap saya dan sudah lama menjadi pemikiran saya. Yaitu sejak kemenangan Imam atas Syi’ah. Walaupun saya tangguhkan hal itu, namun saya tidak ragu sedikitpun tentang kebenaran Ahlul Bait dan bukan karena takut kepada orang-orang atau jika saya tinggalkan taqiyah maka bukan supaya dipuji orang-orang. Sama sekali tidak! Akan tetapi saya sekarang mempertimbangkan situasi disekitar saya. Fanatisme Sunni secara umum masih kuat. Untuk mendekatkan mereka (kaum Sunni), saya ingin nampak dengan membuka kedok, kemudian membela serangan ulama mereka yang Nawasib (anti Syi’ah) mereka akan mengatakan: Syi’i membela Syi’ah. Saya telah berhasil merangkul sejumlah ulama mereka yang lumayan banyaknya, sehingga mereka memahami jutaan madzhab Ahlul Bait atas lainnya. Saya anggap ini sebagai kemajuan dalam langkah-langkah perjuangan kita”.
Majalah AULA – majalah milik Nahdlatul Ulama– pada edisi November 1993 pernah menurunkan berita tentang Syi’ah Bangil dan memuat terjemahan surat itu.
Surat ini juga sempat menjadi berita heboh di Pasuruan. Sebab selama ini, Habib Hussein al-Habsyi dikenal masyarakat Pasuruan yang mayoritas Sunni sebagai ulama dari kalangan habaib yang mumpuni. Sebelum itu, pengajiannya di Masjid Agung Bangil dipenuhi jama’ah yang menganut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Terungkapnya surat rahasia tersebut membuat masyarakat Bangil berbelok arah. Banyak para asatidz dan santri kemudian keluar dari pesantren YAPI. Sejak itu konflik dalam skala kecil sering terjadi di kota Bangil dan sekitarnya. Hingga pada tahun 2007 masyarakat Bangil dan sekitarnya melakukan demo besar setelah shalat Jum’at untuk menolak paham Syi’ah.
Menurut pengakuan seorang warga Bangil, penganut Syi’ah bahkan sudah tidak segan lagi melakukan aktifitas dan pengajian dengan isi doktrin Syi’ah.
Masyarakat Sunni Bangil tentu tidak asal menolak. Beberapa ulama sebenarnya telah mengingatkan mengenai keberadaan paham Syi’ah di propinsi yang mayoritas berbasis Nahdliyyin ini. Di harian Surabaya Post, 27 April 1985, yang sebagaian isinya dimuat lagi oleh majalah AULA tahun 1996, KH. As’ad Syamsul Arifin (almarhum) cukup lugas mengomentari dakwah Syi’ah.
“Syi’ah di Jawa Timur adalah gerakan yang harus dihentikan. Langkah yang tepat untuk mencegah meluasnya aliran Syi’ah di Indonesia adalah dengan meningkatkan kewaspadaan seluruh umat Islam,” tutur Kyai kharismatik asal Situbondo dalam koran itu.
Pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Maret 1984 telah menurunkan fatwa tentang perbedaan pokok dan rambu kewaspadaan umat Islam terhadap keberadaan Syi’ah. Poin keputusan itu adalah;
Pertama, Syi’ah menolak hadits yang tidak diriwayatkan oleh Ahul Bait. Sedangkan Ahlussunnah tidak membeda-bedakannya, asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu mustholah hadis.
Kedua, Syi’ah memandang Imam itu ma’sum (orang suci) sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah memandang sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan.
Ketiga, Syi’ah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya Imam. Sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah mengakui Ijma’ tanpa mensyaratkan ikut sertanya Imam Syi’ah.
Keempat, Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan (Imamiyah) adalah termasuk rukun agama. Sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimanan untuk menjamin dan melindungi dakwah dan kepentingan umat.
Kelima, Syi’ah pada umumnya tidak mengakui ke-Kholifahan Abu Bakar, Umar, Usman sedangkan Ahlussunnah empat Khulafaurraasyin.
Berangkat dari konflik kecil yang terjadi di Bangil, Pasuruan itu, para Ulama merasa perlu untuk membahas pada tingkatan yang lebih luas. Hingga persoalan Syi’ah kemudian terangkat menjadi isu nasional.
Maka, pada 21 September 1997 Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) mengadakan seminar Nasional sehari tentang Syi’ah di Masjid Istiqlal Jakarta. Seminar itu bahkan dihadiri oleh pejabat pemerintah dan pejabat kementrian.
“Kita sebarkan kepada masyarakat, supaya mereka mengerti secara luas tentang apa arti Syi’ah itu” kata KH. Hasan Basri Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sambutannya. Seminar tersebut menghadirkan pemakalah yang pakar di bidang Syi’ah, antara lain; Drs. KH. Moh. Dawam Anwar, KH. Irfan Zidny, MA, Habib Thohir Abdullah al-Kaff, Drs. HM. Nabhan Husein, KH. Abdul Latief Muchtar, MA, Dr. Hidayat Nur Wahid dan Syu’ba Asa.
Disebut dalam salah satu pemakalah, bahwa pesantren YAPI merupakan yayasan milik Syi'ah yang tertua dibanding yayasan lainnya. Dibahas pula dalam seminar itu, bahwa tokoh-tokoh Syi’ah di Indonesia banyak yang alumni YAPI.
“YAPI di Jawa Timur menjadi sentra dakwah Syi’ah di propinsi ini” tulis Habib Thohir dalam makalahnya.
Dalam penelitian Disertasinya di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. Mohammad Baharun, MAg mengkategorikan Syi’ah di YAPI sebagai Syi’ah ideologis yang gerakannya rapi dan militan. Untuk penelitian disertasi ini, Baharun yang pernah menjadi wartawan Tempo ini menggunakan 'informan' untuk menyelidiki aktivitas Syi’ah di Bangil.
Baharun, yang kelahiran Bangil itu, dalam disertasinya menjelaskan, Syi’ah ideologis adalah Syi’ah yang tumbuh melalui pengkaderan cukup intensif. Kaderisasi ini melalui pendidikan (sekolah dan pesantren) yang disipakan dengan guru-guru. Ia menemukan bahwa YAPI mengkhususkan diri sebagai lembaga yang sengaja menyiapkan kader-kader (santri yang diharapkan jadi guru/ustadz atau da’i Syi’ah Itsna ‘Asyariyah) yang berkualitas, sehingga dapat menyebarkan doktrin Syi’ah Imamiyah kepada masyarakat luas.
Merespon terhadap keberadaan Syi’ah, maka sejak tahun sembilan puluhan hingga kini di beberapa kota di Jawa Timur seperti di Pasuruan, Malang, Surabaya dan Jember mengadakan kajian halaqah pemikiran Syi’ah. Mereka terdiri dari para santri, mahasiswa dan asatidz. Ini sebagai respon akademik menanggapi pemikiran Syi’ah. Termasuk pendirian Kelompok Pengajian ASWAJA di Bangil adalah sebagai bentuk respon untuk meredam berkembangnya aliran Syi’ah di Pasuruan.
Kitab-kitab rujukan Syi’ah yang tidak beredar secara terbuka dikaji secara intensif di halaqah-halaqah tersebut. Di antara doktrin dan ajaran yang mereka tolak adalah; riwayat kitab al-Kafi (kitab hadis rujukan Syi’ah) tentang tahrif al-Qur’an. Dalam al-Kafi juz 1 halaman 240 dan juz 2 halaman 634 disebut bahwa al-Qur’an itu tidak otentik. Hal ini sebagaimana dinyatakan ulama-ulama klasik Syi’ah seperti an-Nuri dan al-Thabarsi.
Hal paling pokok yang juga dipersoalkan adalah rukun Islam. Dalam al-Kafi juz 2 halaman 18 disebutkan rukun Islam Syi’ah ada lima; yaitu Shalat, Zakat, Puasa, Haji dan Wilayah (keimamahan Ali dan 11 keturunannya). Satu lagi ajaran yang dikhawatirkan meresahkan masyarakat adalah penghalalan nikah mut’ah (nikah kontrak). Ajaran ini dikhawatirkan menumbuhkan free sex dengan mut’ah sebagai kedoknya.
Beberapa ajaran Syi'ah menurut beberapa warga Bangil, dinilai membikin ‘gerah’ masyarakat Sunni. Dan masih banyak ajaran-ajaran yang dinilai ‘aneh’ yang dipersoalkan. Seperti menista istri Nabi SAW, kultus berlebihan kepada Ahlul Bait, doktrin taqiyyah dan lain-lain, dimana hal tersebut tertera dalam kitab-kitab rujukan Syi’ah.
Sebagaimana telah ditulis di beberapa media, yang diprotes ASWAJA Bangil lebih pada persoalan dakwah mereka dan ajaran yang dinilai menista Ahlussunnah.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka pemerintah perlu menyelidiki akar persoalan yang terjadi. Perkara tindak kriminal memang bisa diselesaikan dengan hukum yang berlaku. Namun akar persoalan utama dan yang paling mendasar, juga harus lebih jadi perhatian dan penyelesaian.
*Penulis adalah santri, pemerhati pemikiran Syi’ah, tinggal di Pasuruan. 
[hdytlh/syiahindonesia.com]

Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, atau yang dikenal sebagai Husain Radhiyallahu ‘anhu, adalah cucu Rosululloh Shallalahu alaihi wa sallam, buah hati dan kecintaannya di dunia. Ia adalah saudara Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, penghulu pemuda penduduk surga. Kedudukan tinggi tersebut tidak ia peroleh, kecuali ia lakoni dengan ujian dan cobaan, dan sungguh Husain Radhiyallahu ‘anhu telah berhasil melewati ujian tersebut secara penuh dengan kesabaran dan keteguhan (tsabat) yang sempurna hingga menemui Alloh Subhanahu wa Ta'ala. Rosululloh Shallalahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu, 

“Sesungguhnya ini adalah malaikat yang belum pernah turun ke bumi sebelum ini, ia meminta izin kepada Robbnya untuk mengucapkan salam kepadaku dan menyampaikan kabar gembira bahwa Fathimah adalah penghulu kaum wanita penghuni surga dan bahwasanya Hasan serta Husain adalah penghulu para pemuda penghuni surga.” (HR.  Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani). Husain Radhiyallahu ‘anhu dan Kronologis Syahidnya

Setelah kekhilafahan dilimpahkan kaum Muslimin kepada Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu 'anhu, kemudian ia turun (lengser) darinya untuk diberikan kepada Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu untuk memelihara darah kaum Muslimin, dengan syarat selanjutnya Mu’awiyah sendiri yang akan menyerahkan kembali kekhilafahan kepada Hasan Radhiyallahu 'anhu. Akan tetapi Hasan meninggal dunia sebelum Mu’awiyah meninggal. Maka ketika itu Mu’awiyah memberikan kekhilafahan kepada anaknya, Yazid. Tatkala Mu’awiyah meninggal, maka Yazid memegang perintah, dan Husain enggan memba’iatnya, lalu ia keluar dari Madinah menuju ke Mekkah dan menetap di sana.

Kemudian golongan pendukung ayahnya dari Syi’ah Kufah mengirim surat kepada Husain agar ia keluar bergabung menemui mereka. Mereka menjanjikan akan menolongnya jika ia telah bergabung. Maka Husain tertipu dengan janji mereka, dan mengira bahwa mereka akan merealisasikannya untuk memperbaiki kebijakan yang buruk dan untuk meluruskan penyelisihan yang diawali pada kekhilafahan Yazid bin Mu’awiyah.

Perbuatan Husain Radhiyallahu 'anhu untuk bergabung dengan penduduk Kufah sendiri dinilai salah oleh para penasehatnya. Di antara mereka adalah Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Abdulloh bin Ja’far Radhiyallahu 'anhum dan lainnya. Bahkan ‘Abdulloh bin ‘Umar Radhiyallahu 'anhu terus mendesak kepada Husain  agar tetap tinggal di Mekkah dan tidak keluar. Namun dengan dilandasi baik sangka, Husain menyelisihi permusyawarahan mereka dan keluar, lalu Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhu berkata kepadanya, “Aku menitipkanmu kepada Alloh dari pembunuhan!”.

Begitu Husain Radhiyallahu ‘anhu keluar, ia menemui Farozdaq di jalan yang berkata kepadanya, “Berhati-hatilah engkau, mereka bersamamu namun pedang-pedang mereka bersama Bani Umayyah. Mereka adalah Syi’ah yang mengirim surat kepadamu, dan mereka menginginkanmu untuk keluar (ke tempat mereka), tetapi hati-hati mereka tidak bersamamu. Secara hakiki mereka mencintaimu, akan tetapi pedang-pedang mereka terhunus bersama Bani Umayyah!”

Akhirnya, sangat jelas sekali tampaklah pengkhianatan Syi’ah ahli Kufah, walau mereka sendiri yang mengharapkan kedatangan Husain Radhiyallahu ‘anhu. Maka wakil penguasa Bani Umayyah, ‘Ubaidillah bin Ziyad yang mengetahui sepak terjang Muslim bin ‘Aqil yang telah membai’at Husain, segera mendatangi Muslim dan langsung membunuhnya sekaligus tuan rumah yang menjamunya, Hani bin Urwah al-Muradi. Dan kaum Syi’ah Kufah hanya diam seribu bahasa melihat pembantaian dan tidak memberikan bantuan apa-apa, bahkan mereka mengingkari janji mereka terhadap Husain Radhiyallahu ‘anhu. Hal itu mereka lakukan karena ‘Ubaidillah bin Ziyad telah memberikan segepok uang kepada mereka.
Maka ketika Husain Radhiyallahu ‘anhu keluar bersama keluarga dan pengikutnya, berangkat pula Ibnu Ziyad untuk menghancurkannya di medan peperangan, maka terbunuhlah Husain Radhiyallahu ‘anhu dan terbunuh pula semua sahabat yang mendampinginya secara terzhalimi dan dapat dianggap sebagai pembantaian sadis. Kepala mulianya terpotong, lalu diambil oleh para wanita dan anak-anak yang berada di antara pasukan dan diberikan paksa kepada Yazid di Damaskus. Ketika melihat kepala Husain dibawa ke hadapannya saat itu, Yazid pun sedih dan menangis. Kemudian para wanita dan anak-anak dikembalikan ke kota, sedangkan anak laki-laki ikut terbunuh, sehingga tidak tersisa dari anak-anak (Husain) kecuali ‘Ali Zainul Abidin yang ketika itu masih kecil.

Kemanakah Syi’ah Kufah Pendusta dan Pengkhianat?
Sejak pertama, Syi’ah Kufah sudah takut berperang dan telah “siap” menjual kehormatan mereka dengan harta. Mereka merencanakan pengkhianatan untuk mendapatkan kekayaan dan kedudukan semata, walaupun hal itu harus dibayar dengan menyerahkan salah seorang tokoh Ahlul Bait, Husain Radhiyallahu ‘anhu. Mereka tidak memberikan pertolongan kepada Muslim bin ‘Aqil, dan ternyata tidak pula ikut berperang membantu Husain Radhiyallahu ‘anhu.
Dalam tragedi mengenaskan ini, di antara Ahlul Bait lainnya yang gugur bersama Husain Radhiyallahu ‘anhu adalah putera ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu lainnya, yaitu Abu Bakar bin ‘Ali, ‘Umar bin ‘Ali, dan ‘Utsman bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu. Juga putera Hasan sendiri, Abu Bakar bin Hasan Radhiyallahu ‘anhu. Namun anehnya, ketika kita mendengar kaset-kaset, ataupun membaca buku-buku Syi’ah yang menceritakan kisah pembunuhan Husain Radhiyallahu ‘anhu, keempat Ahlul Bait tersebut tidak pernah diungkit. Lantas, apa tujuannya?
Tentu saja, agar para pengikut Syi’ah tidak memberi nama anak-anak mereka dengan tiga nama sahabat Rosululloh Shallalahualaihi wa sallam yang paling dibenci orang-orang Syi’ah, bahkan yang dilaknat oleh mereka setiap harinya.
Melihat kebusukan perangai dan pengkhinatan Syi’ah, Husain Radhiyallahu ‘anhu dalam doanya yang sangat terkenal sebelum wafat atas mereka adalah “Ya Alloh, apabila Engkau memberi mereka kenikmatan, maka cerai-beraikanlah mereka, jadikanlah mereka menempuh jalan yang berbeda-beda, dan janganlah restui para pemimpin mereka selamanya, karena mereka telah mengundang kami untuk menolong kami, namun ternyata malah memusuhi kami dan membunuh kami!”.

Konspirasi dibalik Terbunuhnya Husain Radhiyallahu ‘anhu
Di balik tragedi Karbala, yaitu terbunuhnya Husain Radhiyallahu ‘anhu dan banyak Ahlul Bait lainnya serta rombongan yang menyertainya, ada rahasia besar yang harus diketahui, yaitu:

1.    Ternyata yang membunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu adalah ‘Ubaidillah bin Ziyad yang berkolaborasi dengan Syi’ah Husain.
Fakta ini bahkan diakui oleh sejarawan Syi’ah sendiri, Mulla Baqir al-Majlisi, Qadhi Nurullah Syustri dan lainnya, tentunya selain fakta sejarah yang jelas dan mengedepankan nilai ilmiah yang selama ini telah banyak beredar.
Mereka adalah para pengkhianat, musuh-musuh semua kaum Muslimin, bukan hanya bagi Ahlus Sunnah saja.

2.    Kecintaan Syi’ah terhadap Ahlul Bait hanyalah isapan jempol dan kebohongan yang dipropagandakan.
Bahkan yang Syi’ah da’wahkan tiada lain merupakan upaya untuk menghidupkan kembali pemikiran-pemikiran Majusi Saba’iyah (pengikut Abdulloh bin Saba’).

3.    Keadaan Syi’ah yang selalu diburu dan dihukum oleh kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang masa dalam sejarah membuktikan dikabulkannya doa Husain Radhiyallahu ‘anhu di medan Karbala akan adzab Syi’ah.

4.    Upacara dan ritual Asyura’-an, seperti menyiksa badan dengan cara memukul-mukul tubuh dengan rantai, pisau dan pedang pada 10 Muharram dalam bentuk perkabungan yang dilakukan oleh Syi’ah sehingga mengalirkan darah, juga merupakan bukti diterimanya doa Husain Radhiyallahu ‘anhu, bahkan mereka terhina dengan tangan mereka sendiri.

Dari upaya menelusuri tragedi terbunuhnya Husain Rahimahullah dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1.    Syi’ah bukanlah Ahlul Bait, dan Ahlul Bait berlepas diri dari Syi’ah, diantara keduanya terdapat perbedaan yang sangat jauh, bagaikan timur dan barat, bahkan lebih jauh lagi.

2.    Barangsiapa yang mengaku-ngaku mencintai dan mengikuti jejak Ahlul Bait namun ternyata mereka berlepas diri dari orang-orang yang dicintai Ahlul Bait tersebut, maka yang ada hanyalah klaim kedustaan dan propaganda kesesatan.
[hsm/syiahindonesia.com]