nIiiIH........!!! tRiMa TiiNjuUuUu Gw

Entri Populer

Ketua Dewan Syura Jamaah Ahli Bait (Ijabi) Indonesia Prof Dr KH Jalaluddin Rakhmat (JR) tampil Sebagai pemateri tunggal dalam Dialog Muballigh dengan tema : “Syiah dalam Timbangan Alquran dan Sunnah”. Kamis Malam, 1 Januari 2009 di hotel horison Makassar. Dedengkot Syiah Indonesia, yang biasa disapa Kang Jalal ini, memaparkan makalahnya dengan judul “Mengapa Kami Memilih Mazhab Ahlulbait as.?”
Acara yang dilaksanakan oleh Lembaga Studi dan Informasi Islam (LSII) Makassar , yang diketuai Syamsuddin Baharuddin dan didukung ICC dan Ijabi ini dihadiri tiga asatidzah dari Wahdah, yakni Ust. M. Said Abd.Shamad, Ust. M. Ikhwan AJ, Ust. Rahmat  AR dan beberapa ulama, cendekiawan dan muballigh Kota Makassar, di antaranya Prof. Dr. Rusydi Khalid, Prof.Dr. Ahmad Sewang, Prof.Dr. Qasim Mathar, Fuad Rumi, Das’ad Latif, DR.Mustamin Arsyad, MA.
Dalam sesi kedua, dialog yang dipandu oleh pengamat politik Islam UIN DR.Hamdan Juhannis ini, Ustadz Rahmat mendapat kesempatan pertama, mengutarakan argumen.
Ustadz yang merupakan Ketua Lembaga Kajian dan Konsultasi Syariah (LKKS) Wahdah Islamiyah ini, sebelum mengomentari makalah JR, mengatakan bahwa Ahlus Sunnah tidak pernah membenci Ahlul Bait, Ahlussunnah sangat paham terhadap Sunnah dan menjunjung tinggi wasiat Rasulullah untuk mencintai Ahlul Bait.
Dari makalah tersebut, Ustadz memberikan komentar tentang buku acuan yang dituliskan JR, “ini adalah suatu bentuk pengelabuan terhadap data, dalam pembicaraan tentang buku-buku yang diambil acuan ternyata tidak seperti apa yang dituliskan atau kurang menyimpulkan secara sempurna”.
Pembatasan Ahlul Bait hanya Ali, Fatimah, Hasan, Husain Radhiyallahu Ajmain
Misalnya, tentang pembatasan ahlul bait hanya Ali, Fatimah, Hasan, Husain Radhiyallahu Ajmain yang berkenaan dengan Surah Al Ahzab:33.
Disebutkan dalam makalah JR:
“Masih dari Ummu Salamah: Ayat ini-Sesungguhnya Allah…-turun di rumahku. Aku berkata:Ya Rasululah, bukannkah aku termasuk Ahlulbait?Beliau bersabda:Kamu dalam kebaikan. Kamu termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.. Ia berkata Ahlul bait adalah Ali, Fathimah, Al Hasan dan Al Husain. Kata Ibn Asakir:Hadits ini Shahih (Al Arbain fi Manaqib Ummil Mu’minin 106). Hadits-hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa ahlulbait itu tidak termasuk ke dalamnya istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ketua Departemen Dakwah DPP Wahdah ini sambil memegang laptop yang dilengkapi dengan program Maktabah Syamilah (kumpulan ribuan kitab), menegaskan bahwa adanya pembatasan tersebut di atas tidak sesuai dengan  apa yang ada dalam syarah Shahih Muslim yang bekenaan dengan hal tersebut.  Ketika kita kembali kepada surahAl Ahzab:33, ayat ini justru turun kepada Istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Hadits yang menyebutkan pembatasan di atas sebenarnya tidak bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Zaid Ibnu Arqam Radhiyallalu ‘Anhu yang disebut juga dalam penjelasan JR sebelumnya.
“Said Ibnu Arqam Radhiyallalu ‘Anhu ditanya tentang siapa itu  Ahlul Bait, apakah hanya khusus Ali, Fathimah, Al Hasan dan Al Husain? kata beliau Radhiyallalu ‘Anhu, bahwa istri-istri Nabi adalah ahlul bait beliau, kemudian siapa yang diharamkan memakan sedekah, beliau mengatakan alu ja’far, alu atiq, alu Abbas (HR.Muslim). Menurut Ustadz Rahmat bahwa semua itu dari keturunan bani Abdul Muttalib, dan tentu termasuk Istri-istri Nabi, sebab ayat tersebut memang turun untuk mereka.
Dari hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa JR hanya mengambil hadits yang mendukung pemahaman  Syiah, tanpa melihat hadits shahih yang lainnya, sehingga mengambil kesimpulan pembatasan ahlul bait yang keliru.
Masalah Kepemimpinan Setelah Rasulullah jatuh ke tangan Ali Radhiyallalu ‘Anhu
Contoh kedua, tentang Ayat Wilayah (kepemimpinan) yang tercantum dalam makalah. Disebutkan  pemimpin dalam alquran  disebut ‘waliy”. Al Quran sudah memberikan petunjuk siapa yang sepatutnya dijadikan pemimpin setelah Allah dan RasulNya: Sesungguhnya pemimpin kamu itu hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat dalam keadaan rukuk (Al Maidah:55). Berkata Ibn Abbas, Al Suddi, Utbah bin hakim dan tsabit bin Abdullah:yang  dimaksud dengan orang-orang beriman yang mendirikan salat dan mengeluarkan zakat dalam keadaan rukuk adalah Ali bin Abi Thalib. Seorang pengemis lewat (meminta tolong) dan Ali sedang rukuk di Masjid. Lalu Ali menyerahkan cincinnya (tafsir al Tsa’labi 4:80).
Di antara rujukan yang dipakai JR dalam menetapkan sebab turunnya ayat ini adalah Tafsir Ibnu Katsir, namun setelah diperiksa ternyata Ibnu Katsir sendiri melemahkan riwayat yang menyatakan ayat ke 55 ini turun karena Ali ibn Abi Thalib dan menegaskan bahwa sebab turunnya ayat-ayat al-Maidah ini adalah untuk Ubadah ibn as-Shamit  Radhiyallalu ‘Anhu.
Sebelumnya, Ibnu Katsir menjelaskan makna (wa hum raki’un), bahwa kalimat ini bukan menunjukkan keadaan bagi orang yang berzakat sebab jika demikian berarti berzakat dalam keadaan ruku’ lebih afdhal dari berzakat tidak dalam keadaan ruku’ dan tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan akan hal itu. Namun sayang JR tidak menyebutkan komentar Ibnu Katsir untuk sebab turunnya ayat ini, metode penetapan yang dipakai menyiratkan bahwa Ibnu Katsir sepakat dengan mazhab ini padahal itu jauh panggang dari api. (Tafsir Ibnu Katsir, Qs. Al-Maidah:55)
Tidak Mengakui Kedudukan Hadits perintah untuk kembali kepada “Al Qur’an dan Sunnahku”.
Terakhir, komentar Ustadz Rahmat, tentang hadits kembali  pada Al Quran dan Assunnah yang didhaifkan. Sayang JR tidak kembali ke perkataan al-Albani sebagaimana kuatnya, ia merujukkan hadits al-Qur’an dan al-Ithrah ke beliau, padahal al-Albani menshahihkan keduanya. (Hadits al-Kitab dan Sunnahku dishahihkan dalam Shahih at-Targib wat Tarhib, Hadits No. 40)
Hadits Itrati kalau dilanjutkan dalam As-Shahihah al-Albani sangat jelas mengatakan orang-orang Syiah menggunakan  hadits ini untuk membenarkan mazhab Rafidhah dan hal itu sama sekali tidak benar, tidak seperti itu, beliau bantah dalam kitab tersebut, bahkan dalam mukaddimah kitab tersebut.
Kitab lain yang dipakai oleh JR dalam membenarkan mazhabnya adalah Kitab as-Shawaiq al-Muhriqah karangan Ibnu Hajaral-Haitami, justru kitab itu untuk membantah Syiah, judulnya adalah: as-Shawaiq al-Muhriqah fi ar-Raddi ala Ahli ar-Rafdhi wa ad-Dhalali wa az-Zandaqah, ini bantahan Syiah yang “menuhankan” Ahlul Bait, namun sayang JR tidak jujur dalam mengambil pendapat-pendapat penulis.
“Seandainya ada waktu mengecek semua riwayat ini (dalam makalah JR), saya yakin bahwa riwayat-riwayat dalam buku tersebut, tidak seperti yang diinginkan Kang Jalal dalam Istidlalnya,” tegas Ustadz menutup komentarnya.
Pada kesempatan kedua, Ustadz Muh.Said Abd.Shamad, Lc mengutarakan komentarnnya. Ketua Dewan Syariah WI ini diawal pembicaraannya mengusulkan agar pembicaraan ini tuntas, “ Biar sampai jam 1 malam saya siap, karena kita mencari kebenaran,” katanya.
Ustadz juga sangat menyesalkan kepada panitia karena makalahnya tidak dibagikan sebelum hari H, sehingga tidak punya banyak waktu untuk mengkritisi.
Mencela dan Melaknat Sahabat Amr bin Ash
Pada sisi yang lain, Ustadz mengingatkan tulisan Supha Atana pada konferensi Syiah di Makassar beberapa waktu lalu, yang berjudul “Mahzab Cinta dan Akhlak” yang banyak memuji  JR sebagai Ulama dan Cendikiawan yang paling intens membicarakan dan menganjurkan Mahzab Cinta dan Akhlak. Supha Atana yang sekarang Pimpinan Iran Corner Unhas mengatakan juga bahwa andaikata tidak karena cinta dan akhlak maka setiap hari kita akan mengkafirkan orang lain.
Dan dalam forum malam ini JR mengemukakan hadits yang menurutnya sudah banyak dilupakan oleh kaum muslimin, yaitu bahwa darah kamu, harta kamu dan kehormatan kamu diharamkan dan tidak boleh dirusak. Ungkapan di atas sangat bertolak belakang sekali dengan tulisan JR dalam bukunya terbitan 2008 yang lalu yang sangat mempermalukan dan mengkafirkan Sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Dalam buku tersebut JR menyebut Sahabat  Amr bin Ash Radhiyallahu Anhu sebagai anak haram yang tidak diketahui bapaknya secara pasti dan dia sangat banyak dilaknat oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Siapa yang dilaknat oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berarti dilaknat oleh Allah.
Ternyata kitab rujukan JR adalah kitab golongan Syiah yang memang sangat membenci  Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sangat banyak memalsukan keterangan-keterangan dengan dalil-dalil yang lemah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga Imam Syafii mengatakan bahwa golongan yang paling berani dan paling banyak membuat kepalsuan dan dusta ialah golongan Syiah.
Padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memuji Amr bin Ash dengan sabdanya: Manusia sekedar masuk Islam, tapi Amr Bin Ash masuk Islam dengan iman (Hadits Shahih riwayat Ahmad dan Tirmidzi). Juga Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Kedua anak al Ash (termasuk Amr bin Ash) adalah orang berimannya Qurais. Beliau masuk Islam dalam perjanjian Hudaibiyah kemudian ditugaskan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memimpin tentara Islam dalam perang Dzat al salasil dan selanjutnya ditugaskan sebagai penguasa di Oman. Beliau terkenal sebagai Panglima Islam yang banyak merebut daerah-daerah baru termasuk Palestina dan sekitarnya serta negeri Mesir, maka beliau ditunjuk sebagai Gubernur di Mesir oleh Muawiyah RA pada tahun 38 H. Beliau meriwayatkan 39 hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (lihat Nushatul Muttaqin Syarah Riyadul Shalihin Hal.1324). Oleh karena itu Ustadz Said meminta JR mempertanggung jawabkan tulisannya dengan dalil yang Shahih.
Mengkafirkan Sahabat Muawwiyah Radhiyallahu ‘Anhu
Selanjutnya, JR menulis tentang Sahabat Muawwiyah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa dia itu bukan saja fasik bahkan Kafir menurut  riwayat versi Syiah. Ustadz Said  sangat tersinggung akan hal tersebut.
Kata Ustadz, Muawiyah, iparnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan penulis wahyunya. Mungkinkah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memilih orang yang berjiwa kafir sebagai Penulis Wahyu? Juga Muawiyah Radhiyallahu ‘Anhu ditunjuk oleh Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu dan sesudahnya Khalifah Utsman juga menunjuk sebagai Gubernur di Syam. Bahkan beliau menjabat sebagai Khalifah sesudah Hasan bin AliRadhiyallahu ‘Anhu sekitar 20 tahun. Beliau meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebanyak 130 (lihat Nushatul Muttaqin Syarah Riyadul Shalihin Hal.1330).
Dan ternyata Muawwiyah Radhiyallahu ‘Anhu telah didoakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: Ya Allah jadikanlah iya orang yang memberi petunjuk, orang mendapat petunjuk dan berilah petunjuk manusia dengannya (Hadits Shahih riwayat at Tirmidzi). Begitu banyak kelebihan Muawiyah yang tidak dapat disebut satu per satu dapat kita lihat diantaranya dalam kitab al ‘awashim min al qawasim hal.202-210 karangan al Qadhi Abi Bakr al Arabi.
Bukan itu saja bahkan JR menulis dari sumber yang sama bahwa Muawiyah itu tidak senang mendengar nama Nabi  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu disebut dalam Adzan dan menganggapnya sebagai tanda bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sangat ambisius karena tidak senang kecuali namanya digandengkan dengan nama Allah Rabbul Alamin.
Beginikah Mahzab  cinta dan akhlak?dan beginikah menjaga kehormatan kaum muslimin?
“Kami, Pak Jalal, sangat sakit hati kalau keluarga kami dicela, apalagi dikatakan anak haram, dan dikafirkan. Tapi kami lebih sakit hati lagi kalau Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dikatakan anak haram, tidak ditau orangtuanya, dikatakan kafir,” Ungkap Ustadz dengan nada sedikit tinggi.
Lanjut Ustadz, Kalau tulisan JR yang berdasarkan keterangan yang lemah tersebut diterima, berarti kita mendustakan al Quran dan Hadits yang Shahih yang sangat banyak memuji para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan juga dapat berdampak kita meragukan al Qur’an yang telah dikumpulkan oleh para Sahabat dan juga menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mampu mendidik para Sahabatnya dengan baik. Naudzu Billahi min Dzalik dan sangat mengherankan JR sampai hati menulis tentang Sahabat dengan secara keji.
Ustadz sempat membacakan surah  al Fath   ayat 29: "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir", Imam Malik mengatakan, orang-orang Syiah yang benci terhadap Sahabat adalah orang kafir berdasarkan ayat ini.
Fathimah Melaknat Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu (Pada akhirnya dikatakan Rasulullah dan Allah Melaknat Abu Bakar)
Dalam buku kecil yang memuat ceramah Asyura, JR mengatakan bahwa FatimahRadhiyallahu 'Anha telah mengutuk Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu karena tidak memberikan kepadanya harta peninggalan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Hal tersebut dibenarkan oleh JR berdasarkan hadits bahwa Fathimah itu adalah bahagian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Apa yang menjadikan Fathimah murka berarti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga akan murka dan melaknatnya dan apa yang dilaknat oleh Rasul berari dilaknat oleh Allah. Lalu JR membaca ayat surat al ahzab ayat 58.
Ustadz Said mengatakan bahwa sebenarnya Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu tidak memberikan harta peninggalan tersebut karena berdasarkan hadits yang shahih bahwa para Nabi itu tidak diwarisi, harta yang dia tinggalkan adalah menjadi sedekah (Hadits Bukhari Muslim).
Dan dalam hadits yang lain disebutkan bahwa Fathimah telah memaafkan Abu BakarRadhiyallahu 'Anhu diahir hayatnya, setelah Abu Bakar datang menjenguknya dan meminta ridhanya (Hadits Riwayat Baihaqi dengan sanad yang kuat, lihat albidayah wa al Nihayah Juz V Hal.253)
Di akhir sesi dialog, Ustadz Said  dengan lantang menantang JR untuk berdiskusi pada waktu yang lain dan menegaskan bahwa Sunni-Syiah tidak akan mungkin dapat dipertemukan. Alasannya karena Sunni sangat menghormati Sahabat Abu Bakar, Umar, dan Ustman dan Ali Radhiyallahu 'Anhu Ajmain, sedangkang  Syiah hanya mengakui Syaidina Ali Radhiyallahu 'Anhu dan sangat mencerca tiga sahabat sebelumnya serta menganggap bahwa melaknat seluruh Sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam selain ahli bait dan pengikutnya, sebagai ibadah.
Lain halnya dengan Ustadz Ikhwan yang menjadi penanggap berikutnya, Ustadz memulai dengan sedikit nostalgia pada masa SMU, terkesan dengan buku karangan JR yang berjudul Islam Alternatif, “lama-kelamaan saya menyadari barangkali yang dimaksud JR Islam alternatife itu adalah Syiah”, ungkap Ustadz dengan nada bertanya.
Komentar Wakil Ketua Umum DPP WI ini selanjutnya, tentang ketertarikannya dengan ungkapan JR mengenai orang Syiah yang ahlul wara wal wafa, orang yang obyektif dan adil dalam memberi  penilaian. Ustadz sedikit terusik, dikatakan JR dalam bukunya  bahwa Imam Adzahabi menulis Mizanul I’tiqadi untuk memberi komentar kepada perawi dhaif.
Lanjut Ustadz, justru dalam mukaddimah Mizanul I’tiqadi diungkapkan bahwa, Imam Adzahabi mengatakan “saya tidak mengatakan semua yang saya sebutkan dalam buku saya, adalah perawi-perawi dhaif, tetapi orang-orang yang dianggap dhaif”. Maka dapat dikatakan itu adalah mizan (timbangan), apakah benar itu dhaif atau tidak.
“Makanya saya semakin terusik  lagi ketika sempat membaca kitab al Mustafa pada bagian masa muda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Pak Jalal di situ mengomentari seseorang yang sangat terkenal, Sufyan Ats Sauri disebut :yudallis (mengelabui) wayaktubu anil kadzabin (pembohong). Saya merasa terheran-heran karena sebelumnya saya pernah membaca tahzibut tahdzib Ibnu hajar, sebagian ulama mengatakan bahwa beliau  adalah amirul mukminin fil hadits. Di buku Mizanul I’tidal Di buku Mizanul I’tidal, ternyata  Sufyan Ats Tsauri adalah al Hujjah Ats Sabtu (Sumber yang dipercaya), ada kata yang tidak dimasukkan kang jalal, saya tidak tahu apakah itu kutipan langsung atau kutipan antara dari kitab sirah an nabi al a’dham.
Dikatakan bahwa: Laa ‘ibrata liman qala innahu yudallis (mengelabui)  wayaktubu anil kadzabin, yang artinya : tidak ada atau tidak dianggap (ini kata yang tidak dimasukkan), orang yang mengatakan bahwa ats Tsauri melakukan tadlis dan menulis dari orang-orang dusta. Sekali lagi saya tidak tahu dan saya tidak ingin menghakimi di sini apakah Pak Jalal menyengajakan diri mengutip atau tidak membaca”, terang Pengurus MUI Kota Makassar ini.
“Saya berharap bahwa kita dapat berjumpa di dalam media yang lebih tepat, dalam dialog yang lebih sehat dan dalam ruang yang lebih obyektif,” tutup Ustadz dalam komentarnya.`
Senada dengan Asatidzah Wahdah, Dr.Hj.Amrah Kasim, MA, Dosen UIN Alauddin Makassar di awal komentarnya menyatakan penolakannya terhadap ajaran Syiah. Lulusan Al Ahzar Kairo ini pernah menanyakan ke Ulama-ulama Al Ahzar, kenapa referensi Syiah tidak diajarkan di kampus yang dikenal menara ilmu ini. Lalu Ulama-ulama Al Ahzar menjawab: “Ya Binti, nahnu nuhibbu Rasulallah wa Ahlal Bait, wa lakin laa natasyayya’ ,” disambut teriakan Alllahu Akbar dari beberapa peserta, artinya: kami mencintai Rasulullah dan Ahlul Bait dan kami tidak bersyiah. “Sikap saya seperti itu juga, saya mencintai Rasulallah,  Ahlul Bait tapi saya tidak bersyiah,” tegas yang mengaku Azhary ini di dalam forum itu.
Kesalahan Fatal Menerjemahkan Penggalan Surah Al Maidah:55 dan Surah Al Ahzab:33
Yang kedua, yang dikomentari Direktur Pesantren Putri IMMIM Makassar ini setelah menyimak buah-buah pikiran  JR. Kesalahan fatal JR dalam  penerjemahan surah al Maidah:55 dalam penggalan ayat, …innama waliyyukum….   “ , suatu kekeliruan menerjemahkan innama menjadi sesungguhnya. “innama itu,  tidak bisa diterjemahkan sesungguhnya di situ, itulah salah satu perilaku orang Syiah dalam membelokkan  makna ayat untuk kepentingannya,” jelas istri Doktor Tafsir Al Ahzar, DR.Mustamin Arsyad MA ini.
Berikutnya, yang fatal sekali, tidak dimasukkannya Istri Nabi dalam Ahlul Bait. “Keluarnya zaujati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari Ahlul Bait, saya pikir ini adalah suatu kekeliruan besar (disambut ucapan Allahu Akbar dari Ustadz Said). Saya banyak mengkaji buku-buku Syiah, memang metodenya sama, banyak membelok-belokkan makna ayat, “ tegasnya lagi.
Sementara itu, JR dalam jawabannya mengakui kesalahannya, termasuk tanggapannya terhadap  Dr. Hj. Amrah, tentang kesalahannya dalam menerjemahkan Al Qur’an surat Al Maidah: 55, JR minta maaf.
Sebagai kesimpulan dari dialog tersebut, JR yang terpojok dialog ini akhirnya berkilah kalau dirinya bukan syiah, “Saya cinta ahlul bait, dan Saya tidak jadi Syiah, (lalu dilanjut) tapi Syiah menurut definisi saya, dan itu definisi yang diajarkan oleh para iman ahlul bait kami,” kilah JR. Meskipun dari ucapan itu dapat dipahami hanyalah kedok semata, sebab selama ini JR selalu mengagung-agungkan mazhab Syiah, termasuk banyak mengangkat referensi syiah, bahkan JR dianggap sebagai pelopor Syiah di Indonesia.
Sebagai penguat, kami  kutip dua sms dari salah seorang tokoh dan pengamat Islam yang hadir malam itu ke asatidzah Wahdah:
“TADI MALAM, IJABI LAKSANA MULAI MENGGALI LUBANG KUBURNYA SENDIRI. MESKIPUN TAMPAKNYA MEREKA TDK MENYADARI DAN BOLEH JADI JUSTRU SEBALIKNYA.”
“ALHAMDULILLAH. SAYA TERINGAT, SEBAGAIMANA KETIKA BUKU ISLAM ALTERNATIF DITIMBANG O/ORG DEWAN DAKWAH, KETIDAKJUJURAN (KELICIKAN?) KANG JALAL SEMALAM, KEMBALI TERULANG-PAMER REFERENSI. TAPI MENGUTIP SEC TIDAK FAIR. SEMOGA KANG JALAL MAU MENYADARINYA. WALLAHU A’LAM”
Kepada para pengagum dan pengikut JR agar tidak menelan mentah-mentah pemikiran JR, yang  banyak mengambil dalil dan pendapat Ulama Ahlussunah secara sepotong-potong yang “menguntungkan” mazhabnya sendiri, namun perkataan yang membantah mazhab tersebut dari ulama yang sama tidak akan dikutip bahkan meskipun datang dalam konteks dan rujukan yang sama. Semoga Allah menunjuki kita semua jalan yang lurus dan mengembalikan ke jalan lurus itu orang-orang yang tersesat dan menyimpang. [whdh/syiahindonesia.com].

Abu Hurairah Vs Jabir Al-Ju'fi


Abu Hurairah digugat!, Katanya karena meriwayatkan 5000 hadits hanya dengan tiga tahun masuk Islam. Tetapi ada perawi Syi’ah yang yang lebih dahsyat dari Abu Hurairah. Rupanya banyak teman Syi’ah –dan sunni– belum pada tahu tentang rahasia ini. Kita sering mendengar gugatan terhadap Abu Hurairah, seorang sahabat Nabi yang konon baru masuk Islam pada perang Khaibar. Mengapa Abu Hurairah digugat?, Karena Abu Hurairah yang hidup di Madinah selama tiga tahun sebelum wafatnya Nabi, meriwayatkan hadits lebih banyak dari Abu Bakar, yang masuk Islam pertama kali, dan lebih banyak dari Ali, orang yang beruntung dapat hidup di bawah asuhan Nabi Muhammad SAW. Konon Abu Hurairah meriwayatkan kurang lebih 5000 hadits sedangkan dia baru masuk Islam tiga tahun hingga Nabi SAW wafat, sedangkan Abu Bakar yang 22 tahun sebelum Nabi wafat riwayat haditsnya tidak sebanyak itu.
Salah satu pelopor gugatan ini adalah seorang ulama Syi’ah bernama Abdul Husein Syarafuddin Al-Musawi, yang menulis buku berjudul Abu Hurairah. Buku ini menjadi rujukan bagi Syi’ah untuk mengajak orang masuk madzhabnya dengan menjelek-jelekkan tokoh madzhab lain.
Logika ini digunakan untuk mengarahkan pembaca bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah adalah buatan sendiri, bukan hasil yang didengarnya dari Nabi. Lumrahnya, Abu Bakar lah yang mestinya meriwayatkan hadits Nabi lebih banyak ketimbang Abu Hurairah, begitu juga mestinya Ali meriwayatkan lebih banyak riwayat ketimbang Abu Hurairah, begitu juga dengan sahabat-sahabat Nabi lainnya. Namun di sini kita harus bersikap kritis dan tidak begitu saja percaya dengan logika sederhana ini. Apakah ada data-data yang belum disertakan, atau ada sebab-sebab lain hingga riwayat hadits dari Abu Bakar As-Shiddiq bisa sangat sedikit dibanding sahabat lain, apalagi dibanding Abu Hurairah.
Sebelum kita melanjutkan tentang Abu Hurairah ada baiknya anda simak kisah di bawah ini:
Pada suatu hari, seseorang sedang berada di angkot dalam perjalanan pulang dari kantor, seperti biasanya, angkot melaju pelan-pelan, sambil mengernyitkan dahi dia memandang ke arah penumpang angkot lainnya, tak lupa sambil menarik nafas panjang. Angkot berhenti di depan rumah sakit, seorang ibu naik bersama anaknya, sepanjang jalan anaknya gelisah, berteriak-teriak dengan suara keras, dia menolehkan kepalanya ke arah si anak dan memandangnya dengan pandangan kesal. Begitu juga penumpang lainnya. Beban pekerjaan di kantor, perjalanan yang macet, masih harus ditambah dengan suara gaduh anak kecil dalam angkot. Anehnya, si ibu memandang ke jalanan dengan pandangan kosong. Seorang penumpang dengan sewot mengatakan: “Ibu, tolong lah bu, anak anda begitu mengganggu”. Si ibu sepertinya kaget, lalu dengan lirih bergumam: “Maaf pak, ayahnya baru saja meninggal dunia, barangkali dia masih belum bisa menerima kenyataan ini”.
Barangkali pembaca pernah membaca cerita di atas. Barangkali juga belum. Cerita di atas adalah “Versi Indonesia” dari kisah yang mirip dan mungkin terjadi di dunia barat sana. Ternyata pikiran kita sangat mempengaruhi persepsi kita terhadap sesuatu. Yang sering tertipu ternyata bukan hanya mata, pikiran pun juga dapat tertipu. Pikiran bisa menipu kita ketika kita kekurangan data, atau ada sisi-sisi dari peristiwa yang belum kita ketahui. Segala sesuatu memiliki peluang untuk kita pahami secara berbeda. Dua orang bisa memiliki persepsi dan pemahaman yang berbeda dalam menilai sesuatu. Bahkan kita sendiri bisa dengan cepat merubah penilaian kita terhadap suatu peristiwa, contohnya seperti kisah di atas. Artinya bisa jadi penilaian kita terhadap sesuatu bukanlah hasil final, yang mencerminkan keadaan sesuatu itu yang sebenarnya.
Bisa jadi asumsi yang tercipta di benak kita keliru.
Mengapa Abu Hurairah meriwayatkan hadits lebih banyak dari Abu Bakar? Singkatnya, karena Abu Bakar wafat dua tahun setelah Nabi wafat, hingga tidak memiliki banyak murid seperti Abu Hurairah yang wafat tahun 57 H. Abu Hurairah memiliki murid yang banyak, disebutkan bahwa 800 orang baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in pernah mendengar hadits Nabi dari Abu Hurairah. Bisa dilihat dalam kitab Al-Isti’ab, Siyar A’lam Nubala, Hilyatul Auliya, Tahdzibul Kamal dan kitab-kitab lainnya. Maka tidaklah mengherankan jika riwayat Abu Hurairah sedemikian banyak tersebar dalam kitab-kitab hadits, jauh lebih banyak dibanding riwayat Abu Bakar. Begitu juga Ali, yang tidak memiliki murid sebanyak Abu Hurairah, namun riwayat Ali dalam kitab Ahlus Sunnah lebih banyak dari riwayat Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Juga Abu Hurairah selama tiga tahun kehidupannya di Madinah tinggal di masjid, termasuk mereka yang disebut sebagai Ahlus Suffah, yang tidak memiliki pekerjaan. Maka Abu Hurairah menggunakan kesempatan itu untuk menimba ilmu dari Nabi. Sementara sahabat lainnya tidak memiliki waktu luang seperti Abu Hurairah, hingga Ibnu Umar pun pernah berkata pada Abu Hurairah, seperti dalam Sunan At-Tirmidzi: “Wahai Abu Hurairah, engkau adalah orang yang paling sering bersama Rasulullah SAW dan orang yang paling mengetahui haditsnya di antara kami.”
Demikian keterangan singkat mengenai Abu Hurairah.
Namun seperti yang kami jelaskan di atas, ada yang lebih “dahsyat” dari Abu Hurairah, yang dapat meriwayatkan 70.000 hadits dalam sekali pertemuan!!! Siapa dia?
Dialah Jabir Al-Ju’fi. Al-Hurr Al-Amili dalam Wasa’il Syi’ah, jilid. 20, hal. 151 mengatakan: “Dia meriwayatkan tujuh puluh ribu (70.000) hadits dari Al-Baqir, dan meriwayatkan seratus empat puluh ribu (140.000) hadits, nampaknya tidak ada perawi yang meriwayatkan hadits dari para imam secara langsung, yang lebih banyak dari Jabir.”
Sedangkan jumlah hadits dalam 4 literatur utama Syi’ah adalah sekitar 44.244 hadits, seperti tercantum dalam A’yanus Syi’ah, jilid. 1, hal. 248. Berarti bisa dibilang sebagian besar riwayat dalam literatur hadits Syi’ah adalah melalui perawi yang satu ini.
Lalu pertanyaannya, berapa lama Jabir Al-Ju’fi  menimba ilmu dari Abu Ja’far? Kita simak jawabannya dalam Rijalul Kisyi, jilid. 2, hal. 437, yang ditahqiq oleh Sayid Mahdi Raja'i, terbitan Muassasah Alul Bait ‘Alaihimus salam, Ja’far As-Shadiq mengatakan: “Aku hanya melihat dia menemui ayahku sekali saja, dia belum pernah masuk menemuiku sama sekali.” Lalu dari mana Jabir Al-Ju’fi meriwayatkan puluhan ribu hadits jika hanya sekali bertemu Abu Ja’far?
Jika Abdul Husein Al-Musawi bisa menerima Jabir Al-Ju’fi, bahkan memujinya seperti dalam Al-Muraja’at (yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul: Dialog Sunnah - Syi’ah), lalu mengapa Abu Hurairah digugat? [hakekat/syiahindonesia.com].


Nabi tidak jadi berwasiat karena perselisihan dan keributan mereka, kata Ibnu Abbas dengan penuh penyesalan. Siapa mereka yang berani membuat keributan di depan Nabi yang sedang sakit? Setelah melihat riwayat Ibnu Abbas pada makalah sebelumnya, yang menyatakan sebab mengapa Nabi tidak jadi menuliskan wasiat pada saat itu, penjelasan ini tidak lengkap rasanya jika tidak membahas siapa mereka yang menghalangi Nabi menuliskan wasiat.
Jawabannya ada dalam riwayat-riwayat berikut:
قال النبي صلى الله عليه وسلم هلم أكتب لكم كتابا لا تضلوا بعده فقال عمر إن النبي صلى الله عليه وسلم قد غلب عليه الوجع وعندكم القرآن حسبنا كتاب الله فاختلف أهل البيت فاختصموا منهم من يقول قربوا يكتب لكم النبي صلى الله عليه وسلم كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغو والاختلاف عند النبي صلى الله عليه وسلم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قوموا قال عبيد الله فكان بن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم. (البخاري حديث رقم : 5345 كتاب المرضى / باب قول المريض قوموا عني)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Mari aku tuliskan bagi kalian tulisan yang kalian tidak akan sesat jika mengamalkannya, Umar berkata: Nabi sedang sakit keras dan Al-Qur’an ada di tengah kalian, cukup bagi kami kitab Allah, lalu Ahlul Bait berselisih dan bertengkar, sebagian dari mereka mengatakan: dekatkan pena pada Nabi agar Nabi menulis wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, sebagian lagi mengatakan seperti ucapan Umar. ketika mereka ribut dan berselisih di depan Nabi, Nabi bersabda: pergi kalian dari sini. Ubaidillah berkata: Ibnu Abbas mengatakan benar-benar musibah, yaitu perselisihan dan keributan mereka hingga menghalangi Nabi dari menulis wasiat. (Shahih Al-Bukhari, hadits no. 5345, Kitabul Mardha, Bab Qaulil Maridh Qumu Anni).
قال هلم أكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده قال عمر إن النبي صلى الله عليه وسلم غلبه الوجع وعندكم القرآن فحسبنا كتاب الله واختلف أهل البيت اختصموا فمنهم من يقول قربوا يكتب لكم رسول الله صلى الله عليه وسلم كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغط والاختلاف عند النبي صلى الله عليه وسلم قال قوموا عني . قال عبيد الله فكان بن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم. ( البخاري حديث رقم : 6932 كتاب الاعتصام بالكتاب والسنة / باب كراهية الاختلاف)
Nabi bersabda: Mari aku tuliskan bagi kalian tulisan yang kalian tidak akan sesat jika mengamalkannya, Umar berkata: Nabi sedang sakit keras dan Al-Qur’an ada di tengah kalian, cukup bagi kami kitab Allah, lalu Ahlul Bait berselisih dan bertengkar, sebagian dari mereka mengatakan: dekatkan pena pada Nabi agar Nabi menulis wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, sebagian lagi mengatakan seperti ucapan Umar. ketika mereka ribut dan berselisih di depan Nabi, Nabi bersabda: pergi kalian dari sini. Ubaidillah berkata: Ibnu Abbas mengatakan benar-benar musibah, yaitu perselisihan dan keributan mereka hingga menghalangi Nabi dari menulis wasiat. (Shahih Al-Bukhari, hadits no. 6932, Kitab Al-I’tisham bil Kitab was As-Sunnah, Bab Karahiyatil Ikhtilaf).
فقال النبي صلى الله عليه وسلم هلم أكتب لكم كتابا لا تضلون بعده فقال عمر إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد غلب عليه الوجع وعندكم القرآن حسبنا كتاب الله فاختلف أهل البيت فاختصموا فمنهم من يقول قربوا يكتب لكم رسول الله صلى الله عليه وسلم كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغو والاختلاف عند رسول الله صلى الله عليه وسلم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قوموا قال عبيد الله فكان بن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم. (رواه مسلم حديث رقم : 1637 كتاب الوصية / باب ترك الوصية لمن ليس له شيء يوصى فيه) .
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Mari aku tuliskan bagi kalian tulisan yang kalian tidak akan sesat jika mengamalkannya, Umar berkata: Nabi sedang sakit keras dan Al-Qur’an ada di tengah kalian, cukup bagi kami kitab Allah, lalu Ahlul Bait berselisih dan bertengkar, sebagian dari mereka mengatakan: dekatkan pena pada Nabi agar Nabi menulis wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, sebagian lagi mengatakan seperti ucapan Umar. ketika mereka ribut dan berselisih di depan Nabi, Nabi bersabda: pergi kalian dari sini. Ubaidillah berkata: Ibnu Abbas mengatakan benar-benar musibah, yaitu perselisihan dan keributan mereka hingga menghalangi Nabi dari menulis wasiat. (Shahih Muslim, hadits no. 1637, kitab Al-Washiyah, Bab Tarkul Washiyyati liman laisa lahu syai’ yushi fiihi).
Akhirnya kita tahu siapa sebenarnya yang menghalangi Nabi menuliskan wasiat. Seperti selalu diklaim oleh kawan-kawan syiah, Ahlul Bait adalah ma’shum, artinya terpelihara dari dosa. Tetapi Ahlul Bait yang ma’shum di sini malah ribut sendiri, Nabi pun sampai marah dan terhalang dari menuliskan wasiat.
Sampai di sini, muncul satu pertanyaan di benak kita, ke mana Ali saat Nabi sakit atau saat peristiwa “tragedi hari kamis” (kata Abdul Husein Syarafudin Musawi dalam dialog sunnah - syiah-nya) atau peristiwa “kamis kelabu” (kata kawan kita yang satu itu)?
Mengapa Ali tidak langsung mengambilkan pena dan kertas? Ada apa di balik semua ini?
Syiah menuduh sahabat Nabi berkomplot untuk menggagalkan wasiat Nabi ini, apakah Ali ikut terlibat? [hakekat/syiahindonesia.com].

Para Imam Syi’ah Mengikuti Umar bin Khattab


Imam Syi’ah mengikuti ucapan Umar,yang dianggap keliru oleh Syi’ah hari ini. Mana yang benar, para imam Syi’ah -yang ma’shum-, atau penganut Syi’ah hari ini -yang tidak ma’shum-? Syi’ah selalu menggugat Umar bin Khattab karena mengatakan: “Cukup bagi kita semua kitab Allah”.
Perkataan ini digunakan untuk menghujat Umar dengan membabi buta tanpa berpikir panjang. Kebencian Syi’ah pada Umar begitu menggelora, membuat pemberian Allah yang berupa akal sehat, tidak lagi digunakan.
Dan anehnya lagi, Nabi tidak memprotes ucapan Umar bin Khattab. Ada dua kemungkinan dalam masalah ini;
Kemungkinan yang pertama, memang ucapan Umar itu benar, karena itu Nabi tidak menegur Umar dan memberitahu mana yang benar, ketika ada kesalahan yang dilakukan oleh sahabat, Nabi selalu menegur dan menunjukkan pada para sahabat mana yang benar. Tetapi kali ini Nabi diam dan tidak menegur Umar. Ini menjadi bukti persetujuan Nabi terhadap ucapan Umar.
Kemungkinan kedua, ucapan itu keliru, seperti diyakini oleh Syi’ah hari ini. Tetapi pertanyaan yang muncul adalah, mengapa Nabi diam saja menyaksikan penyimpangan yang dilakukan Umar? Mengapa Nabi tidak menegur Umar, akibatnya, dengan ucapan Umar yang keliru itu -menurut keyakinan Syi’ah-, dijadikan pegangan oleh banyak umat Islam.
Padahal ketika sesuatu terjadi di hadapan Nabi sedangkan Nabi diam saja tanpa bereaksi, maka itu dianggap sebagai persetujuan dari Nabi, yang memiliki kekuatan hukum dalam syareat. Salah seorang sahabat makan daging “dhabb” (binatang semacam biawak) di hadapan Nabi. Walaupun Nabi tidak ikut makan, tapi Nabi tidak melarang sahabat tadi. Ini menjadi dasar hukum bagi halalnya daging dhabb. Begitu juga saat Nabi diam saja membiarkan Umar, tidak menegurnya, dan tidak mengoreksi kesalahannya.
Ada dua asumsi kemungkinan yang lain yaitu, yang pertama, Nabi takut pada Umar, maka ketika Umar berpendapat keliru, bahkan menghalangi Nabi menuliskan wasiatnya, Nabi hanya diam seribu bahasa. Nabi rela tidak menuliskan wasiat yang kelak menjadi pegangan umat, karena takut pada Umar. Tapi ini amat sangat mustahil terjadi, karena tugas Nabi adalah menyampaikan risalah kebenaran, dan Nabi telah melaksanakan tugasnya dengan sempurna. Dengan penuh keberanian, Nabi menentang dan menantang kaum Quraisy tanpa mengenal rasa takut sedikitpun. Nabi tetap tegas dan tegar dalam berdakwah, dengan lantang menyuarakan amanah ilahi, menjelaskan kesesatan kaum musyrikin Quraisy. Ancaman dan gangguan dari kaum Quraisy tidak menciutkan nyali Nabi. Jika Nabi tidak pernah merasa takut pada kaum Quraisy, apa yang membuat Nabi takut pada Umar? Tidak ada alasan bagi Nabi untuk takut pada Umar, apalagi dalam menyampaikan kebenaran. Mustahil sekali Nabi takut pada Umar dan sangat mustahil pula Umar dapat menghalangi Nabi dalam menyampaikan kebenaran. Ini jika dalam dada kita masih tertanam keyakinan, bahwa Nabi telah menyampaikan amanat yang diembannya dari Allah dengan sempurna.
Kemungkinan berikutnya, yaitu Nabi memang sengaja menyembunyikan wasiat, yang menurut sebagian Syi’ah, melindungi umat dari perpecahan. Ini lebih mustahil lagi, karena Nabi mendapat gelar Al-Amin sejak sebelum diangkat menjadi Rasul Allah, apakah mungkin bagi Nabi mengkhianati Allah dan menyembunyikan wahyu? Keyakinan ini dapat membuat seorang muslim kehilangan Islamnya, karena menabrak salah satu rukun iman, yaitu iman kepada Rasul, yang menuntut kita untuk percaya bahwa Rasulullah Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa ‘alihi wa sallam telah menyampaikan amanat ilahi, menyampaikan seluruh wahyu Allah yang turun.
Ketika memvonis ucapan Umar adalah keliru, Syi’ah harus menghadapi dua konsekuensi yang berat, dan memilih salah satunya. Yaitu; Nabi takut pada Umar, atau Nabi mengkhanati amanat risalah dan menyembunyikan kebenaran.
Di sisi lain, pernyataan Umar: “Cukup bagi kami kitab Allah” itu didukung oleh para Imam Syi’ah, seperti tertuang dalam kitab-kitab mereka berikut;
Al-Kafi, jilid. 1, hal. 61, Imam Ja’far As-Shadiq mengatakan: “Kitab Allah, di dalamnya terdapat berita kaum sebelum kalian, dan berita apa yang terjadi sesudah kalian, pemutus perselisihan yang ada pada kalian, dan kami mengetahuinya.”
Al-Kafi, jilid. 1, hal. 60, Imam Ja’far As-Shadiq mengatakan: “Setiap sesuatu yang diperselisihkan oleh dua orang, pasti ada penjelasannya dalam kitab Allah, tetapi akal manusia tidak menjangkaunya.”
Al-Kafi, jilid. 1, hal. 59, Ja’far As-Shadiq mengatakan: “Sesungguhnya dalam Al-Qur’an memuat penjelasan segala sesuatu, demi Allah, Allah tidak meninggalkan sesuatu yang diperlukan oleh hamba-hambanya, melainkan telah menjelaskannya pada manusia hingga seorang hamba tidak akan bisa berkata: ‘Andai saja hal ini tercantum dalam Al-Qur’an, melainkan Allah telah menurunkan ayat tentang hal itu.’”
Bashairu Darajat, hal. 6, Imam Muhammad bin Ali Al-Baqir menyatakan: “Allah tidak meninggalkan sesuatu yang diperlukan oleh umat hingga hari kiamat, kecuali diturunkan dalam kitab-Nya dan dijelaskan kepada Rasul-Nya, dan Allah menjadikan batasan bagi segala sesuatu dan menjadikan segala sesuatu memiliki dalil yang menunjukkan padanya.”
Bashair Darajat, hal. 194, Imam Ja’far As-Shadiq mengatakan: “Dalam Al-Qur’an terdapat berita langit, beritu bumi, berita kejadian yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi, Allah berfirman: “…Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, sebagai penjelas segala sesuatu…” (QS An-Nahl: 89).”
Tafsir Ali bin Ibrahim Al-Qummi, jilid. 2, hal. 451, menyebutkan: “Sesungguhnya dalam Al-Qur’an memuat penjelasan segala sesuatu, demi Allah, Allah tidak meninggalkan sesuatu yang diperlukan oleh hamba-hambanya, melainkan telah menjelaskannya pada manusia hingga seorang hamba tidak akan bisa berkata: ‘Andai saja hal ini tercantum dalam Al-Qur’an, melainkan Allah telah menurunkan ayat tentang hal itu.’”
Al-Mahasin, hal. 267, Imam Ja’far As-Shadiq mengatakan: “Segala sesuatu yang diperselisihkan oleh dua orang, pasti ada penjelasannya dalam Kitab Allah.
Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, surat An-Nahl ayat: 89, yang artinya sebagai berikut:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri.” [hakekat/syiahindonesia.com].

Ustad Syi'ah Doyan Mut'ah?

Ali bin Abi Thalib: Nikah Mut'ah adalah Haram!
Tetapi seluruh ulama dan ustadz syi'ah yang ada melanggar larangan Ali dan memfatwakan halalnya nikah mut'ah, bahkan mencari kambing hitam bahwa yang mengharamkan adalah Umar, jangan-jangan...... ah.. lihat aja selengkapnya..
Salah satu syarat untuk mencapai kesimpulan yang tepat adalah adanya data yang lengkap, di mana adanya kekurangan data pada bagian yang sangat vital dapat mempengaruhi pikiran yang akhirnya berperan membuat paradigma yang keliru terhadap suatu hal. Paradigma yang keliru membuahkan sikap yang keliru yang berefek pada perbuatan yang keliru pula. Sebagai seorang yang mencari kebenaran tentang suatu hal, secara mutlak kita harus mengetahui semua data yang ada sebelum mengambil keputusan untuk bersikap dan berpihak pada suatu pendapat. Tidak peduli data itu kecil atau besar, setiap data yang ada mutlak diperlukan dan diketahui oleh seorang yang sedang membahas sesuatu.
Kita bisa mengilustrasikan hal ini dengan kisah si kapten kapal yang melihat lampu, yang mana si kapten mengira lampu itu adalah lampu dari kapal yang berada di posisi dekat dengan kapalnya. Kapten kapal segera meminta "kapal" yang ada di depannya untuk mengalihkan kemudi agar tidak terjadi tabrakan. Tetapi ketika terdengar suara "kami mercu suar" dari radio komunikasi segera si kapten mengalihkan kemudi menghindari lampu itu, karena dia barusan mendapat data bahwa lampu itu adalah mercu suar. Kisah serupa kita temui sehari-hari dalam kehidupan kita, ketika ada anak kecil yang bermain dengan pisau dan pisau itu kita ambil, dia marah karena tidak memahami data yang penting, yaitu pisau dapat melukai tubuhnya. Seiring dengan bertambahnya usia paradigma si anak mulai berubah, ketika dia tahu bahwa pisau dapat melukai tubuh, dia tidak akan bermain-main dengan pisau lagi. Inilah pentingnya data dalam kehidupan kita.
Seringkali kita menjadi korban dari data yang tidak lengkap, kita salah mengambil kesimpulan dan bersikap karena data yang ada pada kita tidak lengkap. Di sini perlu kita perhatikan peranan media massa dalam pembentukan opini, tidak jarang media massa bermain dengan data untuk mengarahkan pembaca pada opini tertentu. Contohnya adalah penggiringan opini massa di USA saat menjelang perang Iraq, di mana media massa gencar mengkampanyekan "data" berupa temuan senjata pemusnah massal di Iraq yang digunakan untuk mengancam dunia. Akhirnya banyak masyarakat yang tertipu dan mendukung perang Iraq. Di kemudian hari, ternyata perang Iraq memberi dampak yang sangat negatif pada USA sendiri. Cara-cara demikian sering digunakan di mana-mana untuk mempengaruhi opini pembaca. Masih banyak lagi contoh di media massa yang sengaja memuat data yang tidak lengkap demi mempengaruhi opini massa.
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,” (QS. Al-Ma’un : 4).
Begitulah Allah mengancam mereka yang shalat dalam Al Qur’an. Setelah membaca ayat di atas mungkin pembaca mengalami kebingungan, karena bagaimana Allah mengancam orang yang mendirikan shalat, sedangkan dalam Al Qur’an banyak sekali ayat yang memerintahkan shalat. Membaca ayat di atas dapat membuat pembaca memiliki paradigma yang keliru terhadap shalat, ada juga pembaca yang bingung, tetapi pembaca tidak akan bingung dan memiliki paradigma keliru terhadap shalat ketika membaca ayat selanjutnya. Karena ayat selanjutnya berbunyi:
“(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Ma’un: 5)
Orang-orang yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 6)
Artinya, yang celaka adalah orang yang shalat, namun lalai dalam shalatnya, juga orang yang riya dalam shalat, yaitu tidak meluruskan niat shalat karena mencari keridhoan Allah, tetapi hanya agar nampak alim atau niat-niat lainnya. Dengan membaca ayat yang tidak lengkap, seseorang bisa saja enggan shalat karena terancam akan celaka, karena dapat membentuk paradigma yang keliru yaitu setiap orang yang shalat akan celaka, tetapi setelah membaca ayat lanjutannya, baru orang dapat memiliki pemahaman yang benar.
Inilah contoh kecil dari pentingnya kita mendapatkan data yang lengkap tentang sebuah masalah. Sementara itu Allah melarang kita untuk mengambil sebagian ajaran Islam dan membuang sebagian yang lain, karena dengan praktek demikian kita hanya melaksanakan sebagian ajaran Islam dan meninggalkan ajaran Islam yang lain. Ajaran Islam termanifestasikan dalam ayat-ayat Al Qur’an dan ajaran-ajaran Nabi SAW, sesuai dengan syahadat kita Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul. Mengambil sebagian ayat atau hadits Nabi SAW dan mengabaikan hadits lain yang membahas tentang sebuah topik tertentu menyebabkan kita kehilangan gambaran utuh dari topik tersebut, malah bisa jadi gambaran yang kita dapatkan bertolak belakang dari apa yang dimaksud dalam Al Qur’an.
Biasanya penulis syi'ah mengemukakan riwayat dari sahabat Jabir yang mendengar Umar melarang nikah mut'ah. Riwayat ini tercantum dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim.
Salah satu contoh nyata adalah dalam masalah nikah mut'ah.
Membahas masalah nikah mut'ah, kita sering mendapati data yang ditampilkan sangat sedikit dari seluruh data yang ada mengenai pembahasan nikah mut'ah. Sehingga dengan kurangnya data itu membuahkan kesimpulan yang keliru tentang nikah mut'ah.
Biasanya hadits yang ditampilkan hanyalah hadits yang mendukung pendapat si penulis, yang ingin menggiring pembaca pada kesimpulan yang dikehendakinya, agar pembaca yakin bahwa nikah mut’ah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan yang mengharamkan adalah Umar sendiri. Sementara hadits yang tidak sesuai dengan keinginan si penulis sengaja tidak ditampilkan, padahal hanya berjarak beberapa halaman dari hadits yang dimuat oleh penulis.
Biasanya dalil yang dikemukakan adalah riwayat Jabir bin Abdillah: Dari Abu Zubair, saya mendengar Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan, dulu kami melakukan nikah mut’ah dengan bayaran segenggam korma dan tepung, selama beberapa hari semasa hidup Rasulullah SAW, dan pada masa kekhalifahan Abu Bakar, sampai kemudian Umar melarangnya, berkaitan dengan Amr bin Huraits. (Riwayat Muslim, hadits no. 3482).
Begitu juga riwayat dari Jabir dan Salamah bin Al-Akwa’: Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin Al-Akwa’ mengatakan: datang kepada kami utusan Rasulullah SAW lalu mengatakan: Rasulullah SAW telah mengizinkan kalian untuk nikah mut’ah. (Shahih Muslim, hadits no. 3479).
Ada lagi riwayat dari Jabir: Atha’ mengatakan: Jabir datang ke kota Makkah untuk melakukan ibadah umrah, lalu kami berkunjung ke rumahnya lalu dia ditanya tentang beberapa hal di antaranya tentang mut’ah lalu dia menjawab: Ya, kami melakukan nikah mut’ah pada zaman Nabi SAW, Abu Bakar dan Umar. (Shahih Muslim, hadits no. 3481).
Inilah dalil yang biasa digunakan oleh para ustadz syi’ah dan ulama syi’ah untuk menggiring opini pembaca agar meyakini bahwa nikah mut’ah adalah halal, serta menunjuk Umar bin Khattab sebagai kambing hitam yang konon mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dampaknya kita lihat di sekitar kita banyak wanita muslimah yang melakukan nikah mut’ah dengan anggapan bahwa mut’ah adalah halal, yang hanya diharamkan oleh Umar.
Dari mana ustadz syi’ah menemukan dalil-dalil itu? Tentunya dengan merujuk pada kitab aslinya, yaitu Shahih Muslim, karena setiap saat ustadz syi’ah selalu mengajak orang agar berpikir bebas dan ilmiah, sedangkan milai ilmiah menuntut kita agar merujuk ke kitab asli dalam menukil.
Setelah merujuk pada kitab Shahih Muslim, kita menemukan riwayat dari salah satu imam syi’ah yaitu Ali bin Abi Thalib, hanya selang beberapa halaman saja dari riwayat yang sering dinukil oleh ustadz syi’ah:
Dari Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya (Muhammad) dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak saat perang Khaibar. (Shahih Muslim, riwayat no. 3497).
Dari Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya (Muhammad) dari Ali bin Abi Thalib, dia mendengar kabar bahwa Ibnu Abbas memperbolehkan nikah mut’ah, lalu Ali mengatakan: tunggu dulu wahai Ibnu Abbas, sungguh Rasulullah SAW telah mengharamkan nikah mut’ah dan mengharamkan daging keledai jinak saat perang Khaibar. (Shahih Muslim, hadits no. 3500).
Dari Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya (Muhammad) , dia mendengar Ali bin Abi Thalib mengatakan pada Ibnu Abbas terkait nikah mut’ah, bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan nikah mut’ah dan daging keledai jinak saat perang Khaibar. (Shahih Muslim, hadits no. 3501).
Kita perhatikan, hadits yang membolehkan mut’ah adalah nomor: 3479, 3481, dan 3482, sementara riwayat dari imam syi’ah yang (menurut syi’ah) terbebas dari salah dan lupa adalah nomor: 3497, 3500, dan 3501.
Riwayat dari Ali akan merubah paradigma kita tentang nikah mut’ah, sekaligus menjawab keraguan yang mungkin muncul mengenai nikah mut’ah yang dibolehkan lalu diharamkan. Seperti dikatakan oleh Ali saat menjelaskan pada Ibnu Abbas yang belum mendengar Rasulullah SAW mengharamkan nikah mut’ah. Ibnu Abbas yang belum mendengar lalu mengikuti Ali yang telah mendengar keputusan Rasulullah SAW.
Sebaliknya ustadz syi’ah berusaha meyakinkan orang bahwa Rasulullah SAW tidak pernah melarang nikah mut’ah, yang melarang adalah Umar. Selang beberapa halaman saja kita sudah menemukan riwayat yang melarang nikah mut’ah. Tetapi anehnya, riwayat-riwayat ini tidak pernah dibahas oleh ustadz syi’ah.
Pertanyaan yang muncul, apakah ustadz syi’ah belum membaca riwayat dari Ali? Atau riwayat dari Keluarga Nabi SAW sengaja disembunyikan oleh ustadz syi’ah agar pembaca memiliki paradigma yang keliru tentang nikah mut’ah?
Jika ustadz syi’ah tidak menelaah kitab hadits lebih dalam, dan mengeluarkan fatwa yang serampangan, maka kita perlu meragukan validitas seluruh ulama syi’ah, karena kita akan melihat seluruh ulama syi’ah menghalalkan nikah mut’ah dan mengabaikan riwayat dari Ali, salah satu dari 12 imam yang diyakini syi’ah sebagai ma’shum dan tidak pernah keliru, hanya didasari oleh penelitian yang dangkal. Mengapa mereka tidak menelaah dalam-dalam? Apakah karena malas atau karena kitab Shahih Muslim tidak tersedia di pasaran seperti kitab Biharul Anwar, Al-Kafi dan Mafatihul Jinan?
Jika ustadz syi’ah menyembunyikan kebenaran yang diucapkan oleh imamnya sendiri ketika tidak sesuai dengan kepentingannya, maka ini tidak jauh beda dengan perbuatan ulama ahli kitab yang menyembunyikan kebenaran yang tercantum dalam kitab suci mereka tentang kenabian Muhammad SAW.
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 146).
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela'nati.” (QS. Al-Baqarah: 159).
Bagaimana dengan Umar? Ternyata dia hanya bertaklid buta pada Rasulullah SAW dan Ali bin Abi Thalib. Dia hanya mengikuti keputusan Imam Ali yang ma’shum serta tak mungkin keliru dan lupa.
Bagaimana dengan anda? Apakah anda memilih keputusan Nabi yang diikuti oleh imam syi’ah yang ma’shum? Atau siapa yang anda ikuti?
Mengikuti ustadz syi’ah yang tidak ma’shum (juga doyan mut’ah) berarti mengambil resiko besar, ketika ajarannya menyimpang dari keputusan imam ma’shum.
Tinggal satu pertanyaan lagi, mengapa para ulama dan ustadz syi’ah bersikeras menyelisihi keputusan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib yang dianggap ma’shum?
Jangan-jangan para ulama dan ustadz syi’ah doyan mut’ah, tapi ini jangan-jangan lho…
Jika tidak doyan mut’ah mengapa mereka bersikeras melanggar ucapan Ali? [hakekat/syiahindonesia.com].

Imam Ma’shum Bertaklid Buta Pada Umar bin Khattab

Ternyata Imam Ali yang ma’shum –bersih dari dosa– bertaklid buta pada Umar bin Khattab, sebuah kenyataan yang benar-benar menarik. Bulan Ramadhan telah tiba, kaum muslimin menyambutnya dengan gembira, nampak perubahan yang nyata di sekitar kita –masyarakat muslim Indonesia–, masjid-masjid yang biasanya melompong jadi penuh saat shalat tarawih –walau akhirnya kosong lagi setelah Ramadhan–, ini semua karena menyambut Ramadhan yang mulia. Kaum muslimin dari Maroko sampai Merauke –sampai ke negeri matahari terbit, bahkan sampai ke Amerika dan Eropa– melakukan shalat tarawih di malam-malam bulan Ramadhan, mengharapkan keridhaan Allah dan menggunakan kesempatan bulan Ramadhan untuk memperbanyak amal shaleh.
Tetapi ada sebagian mereka yang mengaku muslim, mereka tidak nampak bergembira di bulan Ramadhan. Mereka tidak pergi ke masjid untuk melakukan shalat tarawih, menghabiskan malamnya dengan ngobrol dan beraktivitas di rumah masing-masing. Ketika ditanya, mereka menjawab demikian: “Shalat tarawih itu buatan Umar bin Khattab, bukan ajaran dari Nabi, lihat saja di Shahih Bukhari, kitab Shahih kalian sendiri.” Mereka menghujat Umar bin Khattab, mengatakan bahwa kaum muslimin mengikuti ajaran Umar bin Khattab bukannya ajaran Nabi Muhammad. Inilah jawaban buat mereka. Siapakah mereka? Mereka itu ialah umat Syi’ah, yang katanya mengikuti Ahlul Bait –keluarga Nabi–.
Intinya mereka menolak shalat tarawih karena merasa bahwa orang pertama yang memulai shalat tarawih adalah Umar bin Khattab, sang pemusnah imperium persia raya –yang sedang dibangun lagi pada hari-hari ini–.
Tetapi setelah diteliti lagi dalam kitab-kitab literatur Syi’ah, ternyata kita temukan riwayat-riwayat dari para Imam yang merupakan keluarga Nabi memerintahkan untuk shalat tarawih.
Pertanyaannya, apakah mereka tidak pernah membaca riwayat mereka sendiri? Ini pertanyaan yang mengherankan, tetapi jika kita lihat realita mereka, akhirnya kita bisa memahami, kebanyakan umat Syi’ah di Indonesia orang intelek –akademisi– tapi mereka miskin dalam ilmu Syar'i, akhirnya terperangkap dalam ajaran yang memisahkan diri dari ajaran Islam yang dianut turun-temurun sejak zaman Nabi hingga hari ini. Apakah di antara mereka tidak ada ustadz yang belajar agama sehingga bisa mengakses kitab-kitab literatur induk dan menyampaikan isinya?
Mari kita simak beberapa riwayat:
Dari Abul Abbas dan Ubaid bin Zurarah dari Abu Abdillah ‘Alaihis salam mengatakan: “Rasulullah SAW menambah raka’at shalatnya di bulan Ramadhan, setelah shalat atamah (shalat isya') beliau shalat lagi, orang-orang pun shalat di belakangnya, lalu beliau masuk ke rumahnya dan membiarkan orang-orang shalat di masjid. Lalu beliau keluar lagi ke masjid dan shalat lagi, orang-orang pun berdatangan dan shalat di belakangnya. Rasulullah SAW selalu masuk dan meninggalkan mereka.” Rasulullah SAW (atau Imam Al-Baqir) mengatakan: “Jangan shalat setelah isya' kecuali di bulan Ramadhan.” (Tahdzibul Ahkam, jilid. 3, Bab. Keutamaan bulan Ramadhan dan Shalat sunnah lebih dari shalat sunnah yang biasa dikerjakan bulan-bulan lain).
Artinya, Rasulullah selalu shalat tarawih setelah isya di bulan Ramadhan, ketika para shabat berdatangan untuk shalat di belakangnya, Rasulullah pun masuk, begitu berulang kali. Beliau juga bersabda: “Janganlah shalat sunnah setelah isya kecuali di bulan ramadhan.” Maksudnya bukan larangan shalat sunnah rawatib, tetapi shalat seperti shalat tarawih di bulan ramadhan.
Riwayat yang mirip juga disebutkan dalam Kitab Al-Kafi, jilid. 4, dan kitab Wasa'ilus Syi’ah, jilid. 8 dan dikuatkan dalam kitab Jawahirul Kalam fi Syarhi Syara'i Al-Islam, jilid. 13, hal. 140-141, Juga dalam kitab Ghana'imul Ayyam fi Masa'il Al Halal wal Haram, karya Abul Qasim Al-Qummi, jilid. 3, hal. 110-113).
Juga disebutkan dalam sebuah riwayat dari Imam Ja'far As-Shadiq: ketika Amirul Mukminin –Ali– tiba di kota Kufah, beliau memerintahkan Hasan bin Ali untuk mengumumkan: “Tidak ada shalat jama’ah di masjid pada bulan ramadhan”, lalu Hasan pun mengumumkannya di tengah masyarakat, mendengar pengumuman itu masyarakat berteriak: “Duhai ajaran Umar, duhai Ajaran Umar”, Hasan pun kembali menghadap Ali, dan Ali bertanya: “Suara apa itu?” Hasan menjawab: “Wahai Amirul Mukminin, orang-orang berteriak: ‘Duhai ajaran Umar, duhai ajaran Umar,’ lalu Amirul Mukminin mengatakan: “Shalatlah.” (Lihat Tahdzibul Ahkam, jilid. 3, Wasa'ilus Syi’ah, jilid. 8, hal. 17-48 Bab. Keutamaan bulan Ramadhan dan Shalat sunnah lebih dari shalat sunnah yang biasa dikerjakan bulan-bulan lain dan hadits ini juga dikuatkan dalam kitab Hada'iq Nazhirah fi Ahkam Al-Itrah At-Thahirah, karya Yusuf Al-Bahrani, jilid. 10, hal. 520-522).
Kita lihat bahwa Amirul Mukminin saja memerintahkan untuk shalat sunnah berjama’ah setelah isya di bulan Ramadhan. Padahal kita tahu bahwa imam Ali adalah ma’shum –diyakini oleh umat Syi’ah terpelihara dari kesalahan– seperti kita bahas pada makalah sebelumnya. Silahkan melihat kembali makalah itu di situs ini.
Ali memerintahkan untuk shalat tarawih, mengapa perintah Ali dianggap sebagai bid'ah?
Jika kita melihat jawaban yang muncul dari umat Syi’ah bahwa shalat tarawih adalah buatan Umar bin Khattab, ternyata riwayat-riwayat di atas sesuai dengan ajaran Umar bin Khattab. Ini bisa berarti dua hal, yang pertama, ajaran Umar bin Khattab sesuai dengan ajaran Nabi dan 12 imam ma’shum, atau para Imam Syi’ah menggunakan ajaran dari Umar bin Khattab.
Lagipula jika umat Syi’ah masih menganggap shalat tarawih sebagai bid'ah, mengapa para imam Syi’ah menyetujui bid'ah –bahkan mendukungnya– dan tidak menumpasnya? Padahal dalam kitab Syi’ah ada sebuah riwayat:
Dari Muhamamd bin Jumhur Al-Ammi, Rasulullah SAW bersabda: “Jika bid'ah telah tampak pada ummatku, maka orang yang berilmu harus menunjukkan ilmunya, jika tidak maka dia akan dilaknat oleh Allah.” (Lihat dalam kitab Al-Mahasin, jilid. 1, hal. 176–231 dan kitab Al-Kafi, jilid. 1).
Juga riwayat berikut:
Dari Abu Abdillah, dari ayahnya dan kakeknya: bahwa Ali mengatakan: “Orang berilmu yang menyembunyikan ilmunya akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan berbau busuk, dilaknat oleh setiap binatang di bumi, sampai binatang kecil pun melaknatnya.” (Al-Mahasin, jilid. 2, hal. 177-231).
Imam yang ma’shum bukannya melarang tersebarnya bid'ah tapi malah menggalakkan dan menyetujui bid'ah?, apakah Ali akan dibangkitkan dalam keadaan berbau busuk pada hari kiamat?? Atau dia akan terkena laknat Allah dan laknat dari binatang–binatang kecil??? [hakekat/syiahindonesia.com].

Ali bin Abi Thalib dan Nikah Mut'ah

Apa kata Ali tentang nikah mut’ah? Barangkali ada yang telah membacanya dari kitab-kitab Sunni, ini hal biasa, tetapi kali ini kami nukilkan dari kitab Syi’ah. Sebenarnya bagaimana hukum nikah mut’ah menurut Ali? Saya mengajak pembaca menyimak titah Imam Syi’ah yang dianggap ma’shum. Insya Allah Anda akan mendapat informasi yang berharga. Bagi Syi’ah, Ali adalah sosok Imam ma’shum, suci tanpa cela. Titahnya harus ditaati, mengingat posisinya sebagai Imam di mata Syi’ah, yang meyakini bahwa Imam adalah penerus dari kenabian. Sedangkan posisi Ali adalah Imam pertama setelah Nabi wafat, yang konon (menurut syiah) dilantik sendiri oleh Rasulullah.
Bagi Syi’ah, Ali-lah orangnya yang ditunjuk untuk menjadi penerus misi kenabian, beserta sebelas orang anak cucunya. menjadi penerus kenabian artinya meneruskan lagi misi kenabian, yaitu menyampaikan risalah Allah pada manusia di bumi. Tentunya ketika menyampaikan misinya tidak berbohong dan tidak keliru, karena para Imam –menurut Syi’ah– adalah ma’shum, terjaga dari salah dan lupa, maka tidak mungkin keliru dalam menyampaikan amanat risalah, juga tidak mungkin berbohong ketika menyampaikan hadits Nabi.
Salah satu hal aksiomatis dalam madzhab Syi’ah adalah nikah mut’ah, seperti dinyatakan oleh Al-Hurr Al-‘Amili dalam Wasa’ilu Syi’ah, jilid. 21, hal. 13. Al-‘Amili mengatakan: “Bolehnya nikah mut’ah adalah perkara aksiomatis dalam madzhab Syi’ah”. Bukan Al-Hurr Al-‘Amili sendirian yang menganggap bolehnya nikah mut’ah adalah hal aksiomatis dalam madzhab Syi’ah, Al-Majlisi juga menyatakan demikian: “Beberapa hal yang termasuk perkara aksiomatis dalam agama Syi’ah, kata Majlisi, adalah menghalalkan mut’ah, haji tamattu’ dan memusuhi Abu Bakar, Umar, Utsman dan Muawiyah. (Bisa dilihat dalam Al-I’tiqad, hal. 90-91).
Yang disebut aksiomatis adalah hal penting yang harus diyakini oleh penganut Syi’ah. Begitulah penganut Syi’ah di masa lalu, hari ini dan sampai akhir nanti akan terus meyakini bolehnya nikah mut’ah. Sesuatu bisa menjadi aksiomatis dalam Syi’ah mestinya karena sudah digariskan oleh para Imam Syi’ah yang 12, yang menjadi rujukan Syi’ah selama ini dalam penetapan hukum, paling tidak itulah pengakuan Syi’ah selama ini, yaitu mereka merujuk pada penjelasan para Imam. Apalagi Imam pertama mereka setelah Nabi yaitu Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi yang –lagi-lagi menurut Syi’ah– paling mengetahui ajaran Islam dibanding sahabat lain.
Demikian pula Syi’ah di Indonesia, mereka meyakini bolehnya mut’ah, dan menyebarkan hal itu pada penganut Syi’ah. hingga akhirnya praktek mut’ah marak di mana-mana, dengan keyakinan bahwa mut’ah adalah ajaran keluarga Nabi yang boleh dikerjakan. Di sini pelaku mut’ah mendapatkan tiga kenikmatan, yang pertama kenikmatan melakukan “ajaran” keluarga Nabi, yang pasti mendapatkan pahala dengan melakukannya, yang kedua, kenikmatan hubungan seksual, melampiaskan hasrat yang telah digariskan Allah pada manusia. Sementara yang ketiga, bisa berganti-ganti pasangan, karena mut’ah adalah praktek pembolehan hubungan seksual antara laki-laki dan wanita untuk sementara waktu. Pembaca –yang laki-laki tentunya– bisa membayangkan betapa nikmatnya.
Ahlus Sunnah menganggap nikah mut’ah adalah haram sampai hari kiamat, meskipun pada beberapa saat pernah dibolehkan oleh Rasulullah SAW. Pengharaman ini berdasarkan keterangan dari Rasulullah SAW sendiri yang telah mengharamkannya. Beberapa tahun kemudian Umar menyampaikan pengharaman tersebut kepada para sahabat Nabi ketika menjabat khalifah. Namun Syi’ah selalu menghujat Ahlus Sunnah yang dalam hal ini mengikuti sabda Nabi, dan menuduh Umar sebagai orang yang mengharamkan nikah mut’ah, bukan Nabi. Artinya di sini Umar telah mengharamkan perbuatan yang halal dilakukan. Dan hujatan-hujatan lainnya, yang intinya adalah Rasulullah tidak pernah mengharamkan mut’ah, karena yang mengharamkan adalah Umar, mengapa kita mengikuti Umar dan meninggalkan apa yang dihalalkan oleh Rasulullah SAW? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang selalu dilontarkan Syi’ah dalam menyebarkan keyakinan mut’ah.
Namun ada yang janggal di sini, ternyata Ali malah dengan tegas meriwayatkan sabda Nabi tentang haramnya nikah mut’ah. Riwayat ini tercantum dalam kitab Tahdzibul Ahkam, karya At-Thusi pada jilid. 7, hal. 251, dengan sanadnya dari:
Muhammad bin Yahya, dari Abu Ja’far dari Abul Jauza’ dari Husein bin Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin Ali dari ayahnya dari kakeknya dari Ali ‘Alaihis salam bersabda: “Rasulullah mengharamkan pada perang Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah.”
Bagaimana perawinya? Mari kita lihat bersama dari literatur Syi’ah sendiri:
Muhammad bin Yahya: dia adalah tsiqah, An-Najasyi mengatakan dalam kitabnya, (no 946): “Dia adalah guru madzhab kami di zamannya, dia ini tsiqah (terpercaya).
Abu Ja’far juga Tsiqah (terpercaya), lihat dalam Al-Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits.
Abul Jauza’, namanya adalah Munabbih bin Abdullah At-Taimi, haditsnya Shahih, lihat Al-Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits.
Husein bin Alwan ialah tsiqah (terpercaya), lihat dalam Faiqul Maqal, Khatimatul Mustadrak, dan Al-Mufid min Mu’jam Rijalul Hadits.
Amr bin Khalid Al Wasithi: Tsiqah, lihat dalam Mu’jam Rijalil Hadits, Mustadrakat Ilmi Rijalil Hadits.
Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, salah satu Ahlul Bait Nabi, jelas tsiqah.
Di sini Ali mendengar sendiri sabda Nabi dan menyampaikannya pada umat. Menghadapi riwayat ini mungkin kita bingung, ternyata bukan anda saja yang bingung, saya pun ikut kebingungan karena dua hal:
Pertama, bagaimana ulama Syi’ah dan ustadz Syi’ah tidak menyampaikan hal ini pada umatnya? Hingga umatnya dengan suka ria melakukan mut’ah yang memang mengasyikkan. Kita mempertanyakan apakah mereka tidak membaca riwayat ini? Ataukah mereka membacanya tetapi tidak menjelaskan pada umat tentang kenyataan ini? Atau kenyataan ini tidak sesuai dengan kepentingan mereka, karena tidak dipungkiri lagi bahwa bolehnya nikah mut’ah membuka kesempatan bagi Syi’ah guna menghilangkan kebosanan dan menambah variasi dalam hubungan seksual. Ketika orang hanya berhubungan dengan istrinya, maka bukan tidak mungkin suami bosan dengan istrinya, dan dengan mut’ah suami bisa mencari variasi dengan pasangan yang berbeda, baik dengan daun-daun muda, maupun janda-janda muda yang kesepian. Dan hubungan ini tidak mengakibatkan konsekuensi apa pun, kecuali kesepakatan tentang uang jasa dan jangka waktu mut’ah. Bisakan kita percaya, para ustadz Syi’ah dan santri-santri muda Syi’ah belum membaca riwayat ini?
Saya teringat ayat Al-Qur'an, yang terjemahnya sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela'nati.” (QS. Al-Baqarah: 159).
“Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 160).
Kedua, ketika para ulama Syi’ah menghadapi hadits shahih dari Nabi maupun Imam yang tidak sesuai dengan madzhab Syi’ah, mereka mengatakan bahwa Nabi atau Imam mengatakan hadits itu dalam kondisi taqiyah, artinya yang disabdakan tidaklah benar adanya. Misalnya hadits ini, ketika ulama Syi’ah  tidak mampu menolak hadits ini karena sanadnya yang shahih, maka mereka mengatakan bahwa hadits ini disabdakan dalam kondisi taqiyah. Maksudnya adalah Nabi sebenarnya tidak mensabdakan hadits ini tetapi Ali bertaqiyah hingga menyebutkan hadits ini.
Al-Hurr Al-‘Amili dalam Wasa’il Syi’ah, menyatakan:
“Syaikh (At-Thusi) dan (ulama) lainnya menafsirkan riwayat ini sebagai taqiyyah, karena bolehnya nikah mut’ah adalah perkara aksiomatis dalam madzhab Syi’ah.”
Kita perlu mempertanyakan mengapa sabda Ali tidak sesuai dengan ajaran Syi’ah, bahkan itu dianggap sebagai taqiyah. Tetapi kita ketahui bahwa taqiyah tidak mungkin dilakukan tanpa sebab, yaitu ketakutan. Lalu apa yang Imam Ali takutkan hingga bertaqiyah dalam masalah ini? Apakah kita mempertanyakan kembali sifat pemberani Ali bin Abi Thalib karena di sini digambarkan takut untuk menyampaikan kebenaran?
Juga kita mempertanyakan sumber informasi Syaikh At-Thusi dan ulama Syi’ah lainnya hingga mereka tahu bahwa Imam Ali bertaqiyah ketika meriwayatan sabda Nabi itu. Jika tidak ada informasi yang valid, apakah kita mengatakan bahwa ulama Syi’ah hanya mengira-ngira saja, tanpa didasari dengan informasi yang valid. Hanya dengan satu alasan, yaitu menyelisihi hal yang aksiomatis dalam madzhab lalu begitu saja sabda Imam bisa divonis taqiyah.
Satu lagi konsekuensi berat bagi ulama Syi’ah yang menyatakan bahwa Ali bertaqiyah dalam hadits itu, berarti Ali mengarang-ngarang hadits Nabi SAW, padahal Nabi SAW tidak pernah mengucapkannya. Karena pernyataan Ali di atas adalah riwayat, bukan pendapat Ali sendiri, yaitu ia menceritakan sabda Nabi SAW. Perbuatan ini dikenal dalam istilah hadits dengan “berdusta atas nama Nabi”. Sedangkan perbuatan berdusta atas nama Nabi adalah perbuatan dosa besar, Kitab Tafsir Surat Al-Hamd, karya Muhammad Baqir Al-Hakim –ulama Syi’ah Irak– pada hal. 40, memuat sebuah riwayat yang panjang dari Ali, yang dinukil dari kitab Wasa’ilu Syi’ah –karya Al-Hurr Al-‘Amili–, dalam riwayat itu Ali menukil sabda Nabi:
“Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja hendaknya menyiapkan tempatnya di neraka.” (Hadits ini juga dinukil oleh As-Shaduq dalam Al-I’tiqadat, hal. 119-120, juga tercantum dalam Al-Ihtijaj, jilid. 1, hal. 394).
Apakah Ali mengarang hadits Nabi SAW hingga harus bersiap-siap masuk neraka? Atau Ali mendengar sabda Nabi dan menyampaikannya sesuai yang didengarnya? Saya tidak percaya Ali berdusta atas nama Nabi SAW, juga semestinya Syi’ah –yang meyakini bahwa Ali itu ma’shum– tidak percaya jika Ali telah berdusta.
Maka jelaslah Ali mengikuti sabda Nabi SAW, bahwa nikah mut’ah adalah haram dilakukan saat ini, meskipun pernah dihalalkan oleh Nabi dalam beberapa kondisi, yaitu dalam kondisi perang. Tetapi Syi’ah saat ini menghalalkan mut’ah dalam segala kondisi, tidak hanya ketika kondisi perang. Ini bedanya nikah mut’ah yang pernah dibolehkan pada zaman Nabi SAW dan mut’ah yang menjadi sebuah aksioma dalam madzhab Syi’ah hari ini.
Dengan ini muncul keraguan dan pertanyaan tentang hubungan madzhab Syi’ah hari ini dengan Ali bin Abi Thalib. Rupanya memang tidak semua omongan orang sesuai dengan kenyataan. Contohnya; Syi’ah yang selalu mengaku mengikuti Ali, tetapi kenyataannya sungguh berbeda. Ternyata hal aksiomatis dalam madzhab Syi’ah berbeda dengan ajaran Ali bin Abi Thalib.
Saya ingatkan kepada para pembaca tentang kenikmatan surga beserta bidadari-bidadari yang akan menyambut para penghuninya, beserta isteri-isteri surga. Tentunya kenikmatan di Jannah (surga) lebih menggairahkan dibanding kenikmatan dunia. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Yasin yang terjemahnya sebagai berikut:
“Sesungguhnya penghuni Jannah pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka).” (QS. Yasin: 55).
“Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.” (QS. Yasin: 56).
Ayat di atas menceritakan keadaan penghuni surga yang bersenang-senang dalam kesibukan bersama isteri-istri mereka. Kira-kira apa kesibukan penghuni surga hingga membuat mereka gembira, yang dilakukan bersama istri di atas dipan? Pembaca pasti tahu jawabanya! [hakekat/syiahindonesia.com].

Wasiat Ali bin Abi Thalib Kw. Menjelang Wafat

Menjelang wafat, hanya hal-hal penting yang diingat. Mari kita simak bersama wasiat Ali bin Abi Thalib menjelang wafat. Wasiat dari Ali pastilah penting. Apalagi bagi teman-teman syi'ah, yang meyakini Ali sebagai imam ma’shum yang wajib diikuti. Dari Abu Ali Al Asy’ari, dari Muhammad bin Abdul Jabbar, dan Muhammad bin Ismail, dari Fadhl bin Syadzan, dari Shafwan bin Yahya, dari Abdurrahman bin Hajjaj berkata : Abul Hasan Musa ‘Alaihis salam mengirimkan padaku wasiat Amirul Mukminin ‘Alaihis salam, isinya : Bismillahirrahmanirrahim, ini adalah wasiat dari pembagian harta dari hamba Allah Ali, demi mencari ridha Allah, kiranya agar sudi memasukkan saya ke surga dan menjauhkan dari neraka karena wasiat ini, pada hari di mana ada wajah yang putih dan ada juga wajah yang menghitam,  seluruh harta milikku yang ada di Yanbu’ dan sekitarnya adalah sedekah, dan seluruh budaknya selain Rabah, Abu Naizar dan Jubair adalah merdeka, tidak ada yang boleh menghalangi mereka, mereka adalah budak, mengelola harta selama lima tahun, mereka boleh mengambil bagian harta untuk nafkah pribadi mereka dan keluarganya, sedangkan harta milik saya yang ada di Wadil Qura, dari harta milik anak keturunan Fatimah berikut budaknya adalah sedekah, dan yang ada di Dimah beserta penduduknya adalah sedekah, kecuali Zuraiq, berlaku baginya seperti yang aku lakukan pada teman-temannya, sedangkan hartaku yang ada di Adzinah berikut penduduknya adalah sedekah, dan Faqirain seperti yang kalian ketahui adalah sedekah di jalan Allah, dan yang telah kutentukan dari hartaku ini adalah sedekah yang wajib kutunaikan baik saat aku hidup maupun sudah mati, seluruhnya diinfakkan demi mencari keridhoan Allah, di jalan Allah, demi meraih keridhoan-Nya, dan untuk kerabatku dari golongan Bani Hasyim serta Bani Muthalib, yang dekat maupun yang jauh, semuanya dikelola oleh Hasan bin Ali, dia boleh memakan harta itu dengan baik-baik, dan menginfakkan di jalan yang diajarkan Allah, maka itu halal dilakukannya, tidak ada masalah, jika dia ingin maka boleh dijadikan miliknya, sesungguhnya anak-anak Ali, budak dan hartanya adalah dikelola oleh Hasan bin Ali.  Jika rumah yang menjadi miliknya bukan termasuk rumah sedekah, dan dia ingin menjualnya maka dia boleh menjualnya. jika dia menjualnya, maka hasil penjualannya dibagi menjadi tiga, sepertiga disedekahkan di jalan Allah, dan dua pertiga untuk Bani Hasyim dan Bani Muthalib, sepertiganya untuk keluarga Abu Thalib, dibagikan pada mereka sesuai petunjuk Allah, jika terjadi sesuatu pada Hasan sedangkan Husein masih hidup, maka dikelola oleh Husein bin Ali, dan Husein harus mengelola sesuai dengan petunjukku pada Hasan, dia wajib melakukan apa yang dilakukan oleh Hasan, bagian sedekah untuk anak-anak fatimah adalah sama seperti anak-anak Ali, saya menggariskan ketentuan untuk anak keturunan Fatimah adalah untuk mencari keridhoan Allah dan menghormati Rasulullah, mengagungkan dan memuliakan Rasulullah dan Fatimah, jika terjadi sesuatu pada Hasan dan Husein, maka yang masih hidup di antara mereka berdua melihat anak cucu Ali , jika ada dari mereka yang baik agama dan amanatnya, maka diserahkan padanya jika dia mau, jika tidak ada dari mereka yang baik agama dan amanatnya, maka diserahkan pada salah satu dari anak cucu Abu Thalib yang  dilihatnya baik, jika di antara anak cucu Abu Thalib sudah tidak ada lagi yang dituakan dan bijaksana, maka diserahkan pada salah satu dari Bani Hasyim, dengan syarat agar harta itu tetap dan tidak dijual, dan menginfakkan hasilnya seperti yang telah kutentukan, yaitu fi sabilillah, dan harta yang ada pada keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthalib tidak boleh dijual, dihibahkan dan diwariskan, dan harta Muhammad bin Ali yang menjadi miliknya, maka dia digabungkan dengan bagian anak cucu Fatimah, dan budak-budak yang namanya ada dalam daftar kecil, mereka seluruhnya merdeka. Inilah ketentuan yang dituliskan oleh Ali bin Abi Thalib dalam pengelolaan hartanya pada pagi ini, sehari setelah aku sampai di Muskin (nama tempat di dekat Kufah), demi mencari keridhoan Allah dan negeri akherat, hanya Allah lah tempat kita semua meminta tolong dalam segala kondisi, tidak halal bagi seorang muslim yang beriman pada Allah dan hari akhir untuk merubah dan melanggar ketentuan ini, baik orang dekat maupun orang jauh. Dan budakku yang kugauli, jumlahnya 17, ada dari mereka yang memiliki anak, ada yang hamil, ada lagi yang tidak memiliki anak, siapa yang memiliki anak atau sedang hamil, maka tidak dimerdekakan, dan menjadi bagian anaknya, jika anaknya mati sedang dia masih hidup, maka dia merdeka tidak boleh ada yang menggugat, ini adalah pembagian yang ditentukan oleh Ali bagi hartanya, sehari setelah sampai di Muskin, disaksikan oleh Abu Samr bin Burhah, Sha’sha’ah bin Shuhan, Yazid bin Qais, Hiyaj bin Abi Hiyaj. Ali menulis wasiat ini dengan tangannya sendiri pada 10 Jumadil Ula tahun 37 H.
Selain berwasiat mengenai pengelolaan hartanya, Ali juga berwasiat:
“Bismillahirrahmanirrahim, inilah wasiat dari Ali bin Abi Thalib, mewasiatkan bahwa dirinya bersyahadat tiada tuhan selain Allah, hanya Dia sendiri tidak ada sekutu baginya, dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, diutus dengan petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas seluruh agama, walaupun orang musyrik benci, Shallallahu ‘alaihi wa ‘aalihi, lalu sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Rabbul Alamin, tidak ada sekutu baginya dan itulah yang diperintahkan padaku, dan aku termasuk golongan muslimin.  Lalu aku mewasiatkan padamu wahai Hasan, dan seluruh Ahlul Baitku, dan anakku, juga seluruh mereka yang membaca tulisanku ini, agar bertaqwa pada Allah Rabb kalian, jangan sampai kalian mati kecuali dalam keadaan muslim. Berpeganglah pada tali Allah bersama-sama, dan janganlah kalian berpecah belah, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: Hubungan baik di antara kaum muslimin lebih baik dari pada shalat dan puasa secara umum, dan hal yang merontokkan agama serta yang menghabiskan agama adalah rusaknya hubungan baik di antara kaum muslimin, tidak ada daya dan upaya melainkan dari Allah semata, yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Perhatikanlah kerabat dekat kalian, sambunglah silaturahmi, agar Allah memudahkan hisab amalan kalian. Aku ingatkan kalian pada Allah tentang anak yatim, teruslah memberi makanan mereka, jangan sampai terputus, jangan sampai mereka tidak terurus di depan kalian, aku telah mendengar rasulullah bersabda: Siapa yang menanggung hidup anak yatim sampai bisa bekerja dan mencukupi hidupnya, Allah mewajibkan baginya surga, sebagaimana mewajibkan neraka bagi orang yang memakan anak yatim. Aku ingatkan kalian pada Allah tentang Al-Qur’an, jangan sampai kalian ketinggalan dalam mengamalkanya dari orang lain, Aku ingatkan kalian pada Allah tentang tetangga kalian, karena Rasulullah telah berwasiat tentang mereka, dan selalu mewasiatkan sampai kami mengira bahwa tetangga akan mewarisi harta tetangganya. Aku ingatkan kalian pada Allah tentang rumah-rumah Allah (masjid) jangan sampai kosong dari kehadiaran kalian selama kalian masih hidup, jika kalian meninggalkan rumah-rumah Allah, kalian tidak diberi tenggang lagi dari azab, dan hal yang  didapat dari orang yang pergi ke masjid adalah diampuni dosanya yang telah lalu, Aku ingatkan kalian pada Allah tentang shalat, karena shalat adalah sebaik-baik amalan, shalat adalah tiang agama. Aku ingatkan kalian pada Allah tentang zakat, sungguh zakat memadamkan kemarahan Rabb kalian, Aku ingatkan kalian pada Allah tentang puasa Ramadhan, karena berpuasa pada bulan itu adalah perisai dari api neraka, Aku ingatkan kalian pada Allah tentang kaum fakir dan miskin, ikutkan mereka dalam kehidupan kalian, Aku ingatkan kalian pada Allah tentang jihad dengan harta, jiwa dan lisan kalian, karena hanya ada dua macam orang yang berjihad, yaitu imam yang membawa petunjuk, dan orang taat yang mengikuti petunjuk imam, Aku ingatkan kalian pada Allah tentang keturunan Nabi kalian, jangan sampai mereka dizhalimi di depan mata kalian, sedangkan kalian mampu membela mereka. Aku ingatkan kalian pada Allah tentang sahabat Nabi kalian, yang tidak berbuat dosa dan tidak melindungi pendosa, karena Rasulullah mewasiatkan mereka, dan melaknat orang yang berbuat jahat di antara mereka, atau melindungi penjahat, juga dari selain mereka. Aku ingatkan kalian pada Allah tentang wanita dan budak, karena kata-kata akhir Nabi kalian adalah: Aku wasiatkan pada kalian dua golongan lemah, yaitu wanita dan budak. Shalat, shalat, shalat, dan janganlah kalian takut melakukan perintah Allah karena celaan orang, Allah akan membela kalian dari orang yang mengganggu dan menganiaya kalian, ucapkan perkataan yang baik pada manusia, seperti telah diperintahkan oleh Allah. janganlah kalian meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, jika kalian tinggalkan, Allah akan menjadikan bagi kalian pemimpin dari golongan terjelek dari kalian, lalu kalian berdo’a dan tidak dikabulkan. Wahai anakku, hendaknya engkau menyambung hubungan, memberi orang lain dan berbuat baik, hindarilah memutus hubungan, saling membelakangi dan berpecah belah, hendaknya kalian saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah tolong menolong atas perbuatan dosa dan permusuhan, bertakwalah pada Allah, sesungguhnya hukuman Allah adalah keras, semoga Allah menjaga kalian, seperti menjaga keluarga Nabi dan Nabi-Nya di antara kalian, kutitipkan kalian pada Allah, dan aku membaca Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Lalu Ali terus mengucapkan: Laa Ilaaha Illallah, hingga akhirnya wafat pada malam tanggal 23 Ramadhan, bertepatan malam jumat, tahun 40 H.
Wasiat di atas tercantum dalam literatur syiah : Al-Kafi, Man La Yahdhuruhul Faqih, Tuhaful Uqul, Tahdzibul Ahkam, Nahjus Sa’adah, Biharul Anwar, Mustadrak Safinatil Bihar.
Wasiat ini tidak ditujukan pada anak-anak Ali saja, tapi pada siapa saja yang membaca surat wasiatnya. Yang perlu kita cermati di sini, Ali berwasiat tentang banyak hal. Ali mengawali wasiatnya dengan wasiat tentang persatuan umat. Lalu dengan Al-Qur’an, shalat, zakat, puasa Ramadhan dan ibadah haji.  tidak ketinggalan Ali berwasiat agar bersikap baik terhadap para sahabat Nabi, berlaku baik pada wanita dan budak, tentang anak yatim, dan amar makruf nahi munkar. Semua poin dalam wasiat ini adalah hal-hal yang sangat penting.
Namun Ali tidak menyinggung satu hal yang dianggap penting oleh syi’ah hari ini. Ternyata Ali sama sekali tidak menyinggung masalah imamah. Tidak menyinggung 12 imam, kewajiban mengikuti imam, tidak mewasiatkan pada anak cucunya berikut umat Islam untuk mengikuti 12 imam. Ini satu pertanda bahwa Ali tidak mengenal keyakinan imamah seperti yang dikenal oleh syi’ah hari ini. Ali malah berwasiat untuk bersikap baik kepada para sahabat Nabi, mereka yang dianggap pengkhianat oleh syi’ah. Berwasiat tentang persatuan umat, melarang untuk bermusuhan sesama muslim. Sementara syi’ah menganggap kaum muslim yang tidak meyakini imamah adalah sesat. Ali tidak meyakini imamah sebagaimana diyakini syi’ah hari ini, dan tidak pernah tahu tentang kewajiban beriman pada 12 imam.
Kata Ali bin Abi Thalib:
“Jika terjadi sesuatu pada Hasan dan Husein, maka yang masih hidup di antara mereka berdua melihat anak cucu Ali , jika ada dari mereka yang baik agama dan amanatnya, maka diserahkan padanya jika dia mau.”
Jika Ali mengimani adanya 12 imam, sebagaimana syi’ah hari ini, mestinya diserahkan pada Ali bin Husein, bukan salah satu dari anak cucu Ali. Bukankah 12 imam sudah ditunjuk oleh Nabi? Atau Ali, sang pintu ilmu nan ma’shum, kali ini tidak tahu?
Memang Ali tidak mengenal ajaran imamah. [hakekat/syiahindonesia.com].

Aisyah Binti Abu Bakar Radhiallohu`anhuma

Terbaik

Setelah Khadijah meninggal dunia, Rosululloh Shollallohualaihi wassalam membuka lembaran kehidupan rumah tangganya dengan Aisyah  yang telah banyak dikenal. Aisyah laksana lautan luas dalam kedalaman ilmu dan takwa. Di kalangan wanita dialah sosok yang banyak menghafal hadits-hadits Nabi dan di antara istri-istri Nabi. Dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi yang lain Rodhiyallohu anha’. Ayahnya adalah sahabat dekat Rosululloh yang menemani beliau hijrah, Abu Bakar As-Shiddiq rodhiyallohu anhu, Orang pertama yang mempercayai Rosululloh ketika terjadi Isra’ Mi’raj saat orang-orang tidak mempercayainya.
Menikahnya Rosululloh dengan Aisyah Rodhiyallohu anha’ adalah sebagai perintah wahyu dari Alloh Subhanahu wa Ta'ala. Malaikat turun kepada beliau seraya membawa gambar Aisyah Rodhiyallohu anha’ pada selembar sutera lalu dikatakan pada beliau bahwa Aisyah Rodhiyallohu anha’ adalah istrinya di dunia dan akhirat.
Aisyah Rodhiyallohu anha’ tinggal di kamar yang berdampingan dengan Masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu banyak turun sehingga kamar itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Di hati Rosululloh kedudukan Aisyah Rodhiyallohu anha’ sangat istimewa dan itu tidak dialami oleh istri-istri beliau yang lain. Hal ini menimbulkan kecemburuan di antara istri-istri beliau. Sekalipun perasaan cemburu istri-istri Rosululloh terhadap Aisyah Rodhiyallohu anha’ sangat besar. Mereka tetap menghargai kedudukan Aisyah Rodhiyallohu anha’ yang sangat terhormat.
Aisyah Rodhiyallohu anha’ pernah mengalami fitnah yang mengotori lembaran sejarah kehidupan sucinya, hingga turun ayat Al-Qur’an yang menerangkan kesucian dirinya.
Tuduhan yang mengarah kepada Aisyah Rodhiyallohu anha’ dilancarkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika tuduhan itu sampai ke telinga Nabi, beliau mengumpulkan para sahabat dan meminta pendapat mereka. Usamah bin Zaid berkata, “Ya Rosululloh, dia adalah keluargamu, yang kau ketahui hanyalah kebaikan semata“.
Aisyah Rodhiyallohu anha’ sangat mengharapkan Alloh menurunkan wahyu berkaitan dengan masalahnya, namun wahyu itu tidak kunjung turun. Baru setelah beberapa saat sebelum seorang pun meninggalkan rumah Rosululloh, wahyu yang menerangkan kesucian Aisyah Rodhiyallohu anha’ pun turun kepada beliau. Rosululloh segera menemui Aisyah Rodhiyallohu anha’ dan berkata, “Hai Aisyah, Alloh telah menyucikanmu dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”. (QS. An-Nuur:11)
Demikianlah kemulian yang disandang Aisyah Rodhiyallohu anha’ sehingga bertambahlah kemuliaan dan keagungannya di hati Rosululloh Shalallahu Alaihi wa Sallam.
Ketika Rosululloh sakit menjelang wafatnya, beliau masih tinggal bersama Aisyah Rodhiyallohu anha’. Bagi Aisyah menetapnya Rosululloh selama sakit di kamarnya merupakan kehormatan yang sangat besar karena dia dapat merawat beliau hingga akhir hayat.
Aisyah sangat bersyukur kepada Alloh karena Rosululloh meninggal dalam pangkuan dan dekapannya. Rosululloh Shollallohu Alaihi wassalam dikuburkan di kamar Aisyah tepat di tempat beliau meninggal. Sementara itu dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh ke kamarnya. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada ayahnya Abu Bakar berkata, “Jika yang engkau lihat itu benar, maka di rumahmu akan dikuburkan tiga orang yang paling mulia di muka bumi”. Ketika Rosululloh wafat, Abu Bakar berkata, “Beliau adalah orang yang paling mulia di antara ketiga bulanmu”. Ternyata Abu Bakar dan Umar dikubur di rumah Aisyah.
Setelah Rosululloh wafat, Aisyah Rodhiyallohu anha’ senantiasa dihadapkan pada cobaan yang sangat berat, namun dia menghadapinya dengan hati yang sabar penuh kerelaan terhadap takdir Alloh dan selalu berdiam diri di dalam rumah semata-mata untuk taat kepada Alloh.
Aisyah Rodhiyallohu anha’ memiliki wawasan ilmu yang luas serta menguasai masalah-masalah keagamaan  baik yang dikaji dari Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi maupun ilmu fiqih. Sepertiga dari hukum-hukum syariat dinukil dari Aisyah Rodhiyallohu anha’. Abu Musa al-Asya’ari berkata,“Setiap kali kami menemukan kesulitan, kami temukan kemudahannya pada Aisyah”. Para sahabat sering meminta pendapat jika menemukan masalah yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Aisyah Rodhiyallohu anha’ pun sering mengoreksi ayat., hadits, dan hukum yang keliru diberlakukan untuk kemudian dijelaskan kembali maksud yang sebenarnya. Kamar Aisyah Rodhiyallohu anha’ lebih banyak berfungsi sebagai sekolah yang murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru untuk menuntut ilmu. Bagi murid yang bukan mahramnya, Aisyah senantiasa membentangkan kain hijab di antara mereka. Aisyah Rodhiyallohu anha’ tidak pernah mempermudah hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan Rosululloh sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau.
Aisyah pun memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada Rosululloh jika menemukan sesuatu yang belum dia pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dia memperoleh ilmu langsung dari Rosululloh.
Aisyah Rodhiyallohu anha’ termasuk wanita yang banyak menghafalkan hadits-hadits Nabi Shollallohu Alaihi wassalam, sehingga para ahli hadits menempatkan dia pada urutan kelima dari para penghafal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. Aisyah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki siapa pun, yaitu meriwayatkan hadits yang langsung dia peroleh dari Rosululloh dan menghafalkannya di rumah. Karena itu, sering dia meriwayatkan hadits yang tidak pernah diriwayatkan oleh perawi hadits lain. Para sahabat penghafal hadits sering mengunjungi rurnah Aisyah untuk langsung memperoleh hadits Rosululloh karena kualitas kebenarannya sangat terjamin. Jika berselisih pendapat tentang suatu masalah, tidak segan-segan mereka meminta penyelesaian dari Aisyah Rodhiyallohu anha’. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, anak saudara laki-laki Aisyah mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar,  dan Utsman, Aisyah menjadi penasihat pemerintah hingga wafat.
Aisyah Rodhiyallohu anha’ wafat pada usia 66 tahun bertepatan dengan bulan Ramadhan tahun ke-58 hijriah dan dikuburkan di Baqi’. Kehidupan Aisyah penuh kemuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian sepenuhnya kepada Rosululloh, selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan shalat malam.
Selain itu, Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham atau satu dinar pun. [hsm/syiahindonesia.com].

Benarkah Kaum Syi'ah Adalah Wahabi Sejati?

Ada ajaran dari para imam ma’shum yang justru dipegang erat oleh kaum wahabi dan ditinggalkan oleh kaum Syi’ah. Bukan hanya meninggalkan, bahkan Syi’ah selalu mengolok-olok dan mencaci mereka. Apa ajaran itu?
Masalah Fiqih Isbal

Dari hari ke hari, kita makin sering melihat dengan mata kita, orang-orang yang mengenakan celana dan sarung di atas mata kaki. Orang awam menyebutnya dengan sebutan cingkrang. Sementara sebagian lagi mentertawakan mereka, saat bertemu kawan yang mengenakan celana cingkrang, mereka bertanya, ada banjir ya? Ditanya tentang banjir karena celananya dinaikkan ke atas mata kaki. Biasanya orang bercelana cingkrang karena takut terkena air saat banjir. Ketika ditanya tentang alasan mereka, mereka menjawab bahwa Nabi-lah yang menyuruh mereka. Jadi bukan karena banjir atau apa. Nabi Muhammad menyuruh mereka melakukan itu, menyuruh mereka memendekkan pakaian ke atas mata kaki. Karena ingin mengikuti perintah Nabi, mereka rela dicaci maki. Memang, melakukan perintah Nabi membuat banyak orang sinis dan benci. Ini berlaku dari awal zaman Nabi diutus, hingga saat ini, dan sampai akhir nanti.
Kawan-kawan Syi’ah memiliki pandangan yang berbeda. Bagi mereka, pakaian yang tidak menjulur ke bawah mata kaki adalah salah satu ciri kaum wahabi. Kaum wahabi yang membenci Nabi dan keluarganya. Karena mereka tidak mengikuti madzhab Syi’ah, mereka dianggap membenci Nabi dan keluarganya.
Maka kita lihat Syi’ah tidak ada yang memendekkan pakaiannya hingga ke atas mata kaki. Mereka tidak ingin meniru kaum wahabi. Mereka malu dianggap kaum wahabi, karena yang terbiasa melakukan ajaran Nabi itu adalah kaum wahabi.
Ternyata apa yang menjadi ajaran kaum wahabi itu tercantum dalam kitab Syi’ah sendiri. Para imam Syi’ah yang ma’shum memerintahkan pengikutnya untuk memendekkan pakaian ke atas mata kaki.
Dari Abdullah bin Sinan, dari Abu Abdillah ‘Alaihis salam, mengenai firman Allah : “Dan pakaianmu maka bersihkanlah”, Abu Abdillah berkata: “Pendekkanlah”. (Al-Kafi, jilid. 5, bab. memendekkan pakaian).
Memendekkan celana atau sarung adalah perbuatan membersihkan. Maksudnya bukan membersihkan fisik pakaian agar tidak kotor atau nyaman dipandang. Tetapi yang dimaksud disini adalah membersihkan pakaian dari noda kesombongan.
Dari Ma’la bin Khunais, dari Abu Abdillah berkata: “Ali Alaihis salam ada di tempat ini, dia mendatangi Bani Diwan, lalu membeli tiga buah baju seharga 1 dinar, sebuah baju sepanjang di atas maka kaki, dan sarung sampai setengah betis, dan sebuah sorban yang mencapai dada di depannya, sementara belakangnya sampai bawah punggung, lalu mengangkat tangannya ke langit, memuji Allah atas baju pemberian Allah, kemudian dia masuk ke dalam rumahnya dan mengatakan, inilah pakaian yang harus dikenakan oleh kaum muslimin, Abu Abdillah berkata: Tetapi mereka tidak bisa mengenakannya hari ini, jika kami hari ini mengenakan pakaian itu, orang akan mengatakan : Dia orang gila, dia adalah seorang yang riya’, Allah berfirman : “Dan pakaianmu, bersihkanlah”, Abu Abdullah berkata : pendekkanlah bajumu, jangan engkau julurkan, jika imam Mahdi muncul, inilah pakaian yang akan dikenakannya. (Al-Kafi, jilid. 5, bab. memendekkan pakaian).
Imam Mahdi sejati adalah imam Mahdi yang mengikuti perintah Nabi. Maka tidak heran jika imam Mahdi mengenakan pakaian seperti yang diperintahkan oleh  Nabi SAW.
Dari Abdullah bin Hilal berkata: “Abu Abdillah menyuruh saya untuk membeli sarung, aku berkata: Saya hanya memakai sarung yang longgar, potonglah dan jahit ujungnya, lalu berkata: Sesungguhnya ayahku berkata: Apa yang lebih panjang dari dua mata kaki maka tempatnya di neraka. (Al-Kafi, jilid. 5, bab. memendekkan pakaian).
Membersihkan pakaian dengan memendekkan kain sehingga tidak melebihi mata kaki, dan membersihkan pakaian juga berarti membersihkan diri (jiwa) kita sendiri, agar tidak terkena adzab neraka di hari akhir nanti.
Dari Abul Hasan mengatakan: “Allah berfirman pada Nabi-Nya: ‘Dan pakaianmu, bersihkanlah’, sedangkan pakaian Nabi adalah sudah bersih, maksudnya ialah diperintahkan untuk memendekkan.” (Al-Kafi, jilid. 5, bab, memendekkan pakaian).
Dari Abu Bashir dari Abu Ja’far ‘Alaihis salam, bahwa Rasulullah SAW berwasiat kepada seorang laki-laki dari Bani Tamim: “Hindarilah  isbal (kain yang melebihi mata kaki) dalam sarung dan gamis, karena isbal adalah termasuk kesombongan, sedangkan Allah tidak menyukai kesombongan.”
(Al-Kafi, jilid. 5, bab memendekkan pakaian).
Sering orang berkilah, bahwa yang dilarang adalah menjulurkan pakaian karena kesombongan. Padahal, perbuatan menjulurkan pakaian itu sendiri adalah bagian dari kesombongan. Maka kita lihat ulama Syi’ah di Iran, ustadz Syi’ah yang belajar pada mereka, serta orang awam Syi’ah, seluruhnya menjulurkan pakaian ke bawah mata kaki. Mereka menghiasi diri mereka dengan kesombongan. Bagaimana kesombongan yang ada dalam hati bisa nampak? Jelas nampak, karena apa yang ada di hati akan nampak terlihat orang dari anggota badan. Sedangkan para imam ma’shum jelas memberi tanda kesombongan dengan pakaian yang menjulur ke bawah mata kaki.
Dalam kitab Biharul Anwar, jilid. 2, hal. 143, terdapat sebuah hadits dari Nabi:
“Tidak akan masuk surga, orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan walau sebiji sawi. “
Di akhir hadits tersebut, Nabi menggariskan definisi sombong:
“Sombong adalah menolak kebenaran dan menganggap rendah/remeh orang lain.”
Dan dalam Biharul Anwar itu ditambahkan penjelasan tentang sombong yaitu: “Enggan mengikuti kebenaran.”
Maka Kepada teman-teman Syi’ah, pendekkanlah celana kalian, jangan sampai kain celana kalian menjulur sampai bawah mata kaki, karena itu adalah bagian dari kesombongan, bagai menyemi bibit kesombongan dalam hati. Jika bibit yang disemi sudah tumbuh, maka ia akan berakar di dada. Akibatnya, kita akan menolak kebenaran. Semua ini diawali dari celana yang menjulur ke bawah mata kaki.
Dari Abu Hamzah: Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib memandang kepada seorang pemuda yang memanjangkan sarungnya, lalu ia berkata: Wahai anakku, pendekkanlah sarungmu, karena itu membuat awet pakaianmu, dan membuat hatimu lebih bertaqwa.” (Al-Kafi, jilid. 5, bab memendekkan pakaian).
Jauh sebelumnya, Umar bin Khattab telah mengatakan ucapan yang sama, saat menjelang wafatnya, ada seorang pemuda yang menjenguknya, lalu Umar melihat pakaian pemuda itu menjulur ke bawah mata kaki, lalu Umar berkata: “Wahai anak saudaraku, angkatlah  pakaianmu, sesungguhnya itu lebih bersih untuk bajumu, dan lebih bertakwa pada Rabb-Mu.” (Hadits Riwayat Bukhari).
Imam Ali mengucapkan hal yang sama itu, jauh setelah Umar bin Khattab wafat. Pakaian yang menjulur adalah bagaian dari sombong, sebaliknya, pakaian yang terangkat melambangkan ketakwaan. Ini bukti bahwa pakaian menunjukkan kondisi hati seseorang. Seolah para imam memberitahu pada kita, bahwa isi hati seseorang bisa diketahui dari pakaiannya.
Dari Salamah, dia berkata: “Saya bersama Abu Ja’far, lalu Abu Abdillah masuk menemuinya, lalu Abu Ja’far berkata: ‘Wahai anakku, mengapa kamu tidak membersihkan pakaianmu?’ Lalu dia pergi, kami mengira bahwa bajunya terkena kotoran, lalu dia kembali dan berkata: ‘Memang sudah bersih seperti ini’, lalu kami berkata: ‘Semoga kami dijadikan Allah sebagai tebusanmu, ada apa dengan bajunya?’ Abu Ja’far menjawab: ‘Gamisnya adalah panjang, dan saya memerintahkan untuk memendekkannya,’ Allah berfirman: ‘Dan bajumu maka bersihkanlah…’”
Dari Muhammad bin Musllim berkata: “Abu Abdullah memandang ke arah seseorang yang mengenakan gamis sampai mengenai tanah, lalu berkata: ‘Ini bukanlah baju yang bersih.’”
Dari Sama’ah bin Mahran, dari Abu Abdillah ‘Alaihis salam berkata tentang orang yang memanjangkan gamisnya: “Saya tidak senang dia menyerupai wanita.” (Al-Kafi, jilid. 5, bab memendekkan pakaian).
Dari Abdullah bin Hilal, dari Abu Abdillah berkata: “Ayahku berkata: ‘Setiap yang melewati dua mata kaki maka tempatnya di neraka.’” (Wasa’il Syi’ah, jilid. 5, hal. 25-49).
Maka kawan-kawan Syi’ah yang telah menganggap para imam adalah ma’shum, sudah semestinya meniru kaum wahabi yang memendekkan celana di atas mata kaki. Tetapi yang melaksanakan sabda para imam adalah justru kaum wahabi. Kita ini dilanda bingung, jangan-jangan kaum wahabi adalah pengikut Ahlul Bait sejati… [hakekat/syiahindonesia.com].